Lihat ke Halaman Asli

Jessica

mahasiswa

pulau sedanau kota terapung

Diperbarui: 23 Desember 2024   23:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

karya Jessica

Ombak kecil berlarian perlahan di bawah rumah kayu yang berdiri kokoh di atas tiang-tiang bak pelindung dari waktu. Rumah-rumah itu, meski terlihat rapuh, telah bertahan selama puluhan tahun, menyaksikan pergantian generasi dan alunan pasang surut lautan. Di atasnya, hidup sebuah cerita yang mengalir seperti arus---tentang Pulau Sedanau, kota terapung yang menjadi pelindung dan rumah bagi ribuan jiwa.

Senja baru saja merapat di langit Natuna. Cahaya keemasan membalut atap-atap rumah yang berdiri berjajar di sepanjang pesisir. Bunyi burung camar berpadu dengan suara desiran air, menciptakan simfoni yang menenangkan. Di ujung dermaga kecil, seorang anak lelaki, Ilham, duduk termenung sambil menggoyang-goyangkan kakinya ke air. Ia sedang menunggu kepulangan ayahnya yang pergi melaut sejak pagi.

"Ilham, jangan terlalu dekat ke ujung," seru seorang wanita paruh baya dari balik pintu rumahnya. Suaranya lembut, penuh kasih, tetapi membawa teguran yang tidak bisa diabaikan. Itu ibunya, Mirna, yang selalu memastikan anak semata wayangnya aman.

"Iya, Bu," balas Ilham sambil menarik kakinya ke atas dermaga.

Malam mulai merambat, membawa serta angin lembut dari laut. Satu per satu, lampu-lampu minyak mulai dinyalakan di rumah-rumah terapung itu, menciptakan pemandangan seperti bintang-bintang yang jatuh ke bumi. Pulau Sedanau, meski sederhana, selalu memancarkan kehangatan. Kehidupan di sini terjalin erat dengan laut. Tidak hanya menjadi sumber penghidupan, tetapi juga menjadi jiwa yang menghidupkan tradisi dan identitas mereka.

Di rumah kecil yang menjadi milik keluarga Ilham, Mirna sibuk menyiapkan makan malam. Ikan hasil tangkapan pagi tadi sudah diolah menjadi gulai asam pedas yang harum aromanya memenuhi ruangan. Ilham duduk di samping meja kecil, matanya sesekali melirik ke arah pintu, berharap ayahnya segera pulang.

"Bu, kenapa kita tinggal di atas laut?" tanya Ilham tiba-tiba, memecah kesunyian.

Mirna menghentikan tangannya yang sedang mengaduk gulai. Ia tersenyum kecil, lalu duduk di samping anaknya. "Karena laut adalah rumah kita, Nak. Dari laut, kita hidup. Dari laut pula kita belajar tentang kehidupan."

Ilham mengerutkan kening, mencoba mencerna jawaban ibunya. "Tapi kenapa rumah-rumah ini tidak tenggelam, Bu? Kan air laut sering naik?"

Mirna tertawa kecil. "Itulah tradisi, Ilham. Sejak dulu, nenek moyang kita sudah tahu cara membangun rumah yang kokoh, yang bisa bertahan meski air laut pasang. Tiang-tiang ini adalah warisan mereka, dan kita harus menjaganya."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline