Lihat ke Halaman Asli

Tanggal Merah

Diperbarui: 15 Mei 2016   18:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

TAHUN ke-16 di era millenium, bulan Mei semakin basah saat seekor gajah dikabarkan mati. Saat itu, hujan masih saja turun sejak pagi, sejak semalam, sejak kemarin, sejak lusa, barangkali sejak beberapa bulan ke belakang. Penghujan tahun ini memang datang terlambat, merontokkan bunga-bunga mangga agar tak jadi berbuah di musimnya. Atau terhambat oleh kemarau panjang. Faktanya, Desember kemarin yang gersang, telah banyak memunculkan dugaan bahwa periodik musim telah benar-benar berganti. Jika benar demikian, pengetahuan lokal tentang puncak penghujan di bulan berakhiran ber, seharusnya sudah mati.

Kematian, mungkin puncak dari segala kehilangan. Sementara kehilangan, tak lebih dari sekadar kabar yang dikaburkan angin. Sebentar saja menghilang, seperti halnya hujan yang pandai menyulap emosi. Barangkali duka adalah ilusi paling menonjol di antara ragam emosi. Nyatanya, kita tak pernah tahu siapa yang benar-benar menangis di saat hujan.

TRAGEDI besar, tengah berkecamuk di sebuah toko kecil. Dikabarkan, kemarahan seorang istri manager yang tak lain pemilik langsung perusahaan, telah mencapai puncak lantaran isu perselingkuhan suaminya. Isu ini, sebenarnya sudah lama terendus. Namun, terus menajam seiring hadirnya beragam fakta yang tak terbantahkan.

Emosinya meluap-luap, seperti Citarum yang melahap, menenggelamkan dan menyeret siapa pun di lintasannya. Sebuah keputusan tanpa pertimbangan pun diambil.

“Kiamat!”

Begitu yang ada di pikiran Risti setelah perusahaan membayarkan dua bulan gajinya, ditambah gaji pokok dan sedikit tunjangan.

Sejumlah uang yang lebih dari cukup itu, seharusnya bisa membuat bahagia dengan pola hidup sederhananya, jikasaja tak diiringi kabar kehilangan. Ia dan semua karyawan, baru saja dirumahkan lantaran perselingkuhan tersebut.

Dan bahu kanan yang mengais tas kecil berisi uang pesangonnya itu, terasa bagaikan sedang mengais beton puluhan kilo. Efeknya bahkan menjalar sampai ke ujung kaki yang terasa begitu berat untuk dilangkahkan.

Jika hujan adalah ranggasnya langit karena ketidaksanggupannya menahan beban. Maka, dengan sangat terpaksa ia harus menanggung dampak dari ranggasan tersebut. Langit sudah runtuh, wajarlah ia menyebutnya kiamat.

KEJADIAN ini sebenarnya sudah terduga dan dapat dipastikan. Sejak merebaknya isu sang Manager di beberapa bulan ke belakang, stabilitas perusahaan memang sudah goyah. Terlebih dengan terjadinya interogasi terhadap beberapa karyawan dan penerbitan ‘surat edaran’. Semuanya menjadi kabar yang benar-benar jelas bahwa perusahaan akan segera bubar atau dibubarkan.

Sebenarnya, perusahaan sengaja memberi tenggang waktu yang cukup, agar karyawan bisa bersiap. Mencari ladang pekerjaan lain atau sekadar menyiapkan  mental jika hal seperti ini terjadi, faktanya memang terjadi. Namun, apalah daya Risti dan karyawan lain yang menduduki kelas bawah dalam perusahaan. Tunduk dan patuh pada aturan serta rutinitas, hanya satu-satunya alasan agar bisa bertahan. Meski pada akhirnya tersingkir juga. Maka, pembenarannya adalah, bagaimana bisa mempersiapkan diri, mencari pekerjaan lain, jika waktu selalu habis atas nama loyalitas terhadap perusahaan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline