Lihat ke Halaman Asli

Belajar dari Kasus Kapal Karam di Raja Ampat

Diperbarui: 26 Mei 2018   04:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

image : sains kompas

Tahun 2017 Indonesia dihebohkan dengan kejadian penabrakan terumbu karang di Raja Ampat yang dilakukan oleh kapal pesiar Caledonian Sky. Kapal seberat 4.200 gros ton yang dinahkodai oleh Kapten Keith Michael Taylor yang membawa 79 orang kru kapal dan 102 orang wisatawan dari berbagai negara itu menabrak terumbu karang pada kedalaman 5 meter di perairan pulau Kri (Kampung Yenbuba), Kecamatan Meosmanswar, Selat Dampier. 

Kawasan tersebut masuk ke dalam zona pemanfaatan terbatas Kawasan Konservasi Perairan Daerah Kepulauan Raja Ampat yang ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan No 36/KEPMEN-KP/2014 tentang Penetapan Taman Wisata Perairan Kepulauan Raja Ampat.

Kejadian penabrakan tersebut menyebabkan kerusakan terumbu karang diperkirakan hingga seluas 13.533 meter persegi dan memusnahkan setidaknya delapan genus terumbu karang berusia ratusan tahun (Tim Peneliti Sumber Daya Laut Universitas Papua, Conservation International, The Nature Conservancy) dimana untuk proses perbaikan dapat mencapai kisaran 800 - 1.200 dolar AS per meter persegi, dengan total angka perbaikan bisa mencapai 1,28 juta - 1,92 juta dolar Amerika Serikat.

Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam dan mengambil langkah strategis dalam menangani kasus Kapal Caledonian Sky yang kandas dan berdampak pada kerusakan lingkungan. Terdapat tiga langkah yang diambil oleh Pemerintah Indonesia yaitu (1) evaluasi kerusakan terumbu karang, (2) penyelesaian secara legal berupa pemanggilan, pemeriksaan, gugatan dan (3) penyusunan regulasi agar tidak terjadi kembali kerusakan terumbu karang yang disebabkan oleh kapal yang kandas. Peraturan yang dilanggar oleh Kapal Caledonian Sky, yaitu (1) UU No. 32/2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, (2) UU Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, (3) UU No. 31/2004 tentang Perikanan, serta Aturan United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.

Terjadinya kerusakan terumbu karang akibat kandasnya MV Caledonian SKY juga mungkin akibat dari usaha peningkatan pariwisata dimana untuk mengurangi waktu tunggu kapal masuk di sebuah wilayah perairan, Menteri Koordinator Kemaritiman dengan melakukan terobosan mempercepat proses masuknya investasi, namun mengabaikan UU Pelayaran, lalu dalam peraturan di atas terdapat pertimbangan penggantian fungsi ekologis dan biaya pemulihan lingkungan yang juga harus dihitung secara seksama dalam contoh, berapa kerugian karena hilangnya wisatawan, kerugian karena tidak adanya ikan akibat rusaknya habitat atau biasa disebut dengan potential lost.

Fillipina telah memberikan contoh best practice dalam upaya konservasi terumbu karang, yaitu dengan menekan penggunaan alat penangkap ikan yang dapat merusak ekosistem terumbu karang. Selain itu, mereka berfikir secara sistem bahwa ekosistem terumbu karang tidak akan terlepas dari habitat perairan. Sehingga, mereka sangat memperhatikan effluent limbah cair yang akan bermuara ke laut. Penerapan sistem pengelolaan limbah yang sesuai serta membatasi pengerukan pada wilayah pesisir merupakan kunci untuk mencegah sedimentasi pada habitat perairan.

Pada hakikatnya upaya konservasi terumbu karang tidak akan pernah terlepas dari campur tangan pemerintah dan masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Peter F. Sale bahwa membentuk political will merupakan hal krusial dalam konservasi terumbu karang. Peter menjelaskan bahwa political will yang dimaksud adalah kerjasama antara pihak pengelola dan pemerintah dalam hal keuangan, agenda politik yang mengangkat isu-isu lingkungan, kepemimpinan dalam pemerintahan dan komunitas, tingkat korupsi yang dapat dikelola.

Selain itu komitmen dan keterlibatan masyarakat juga sangat diperlukan. Program pelibatan masyarakat telah diterapkan di Raja Ampat, COREMAP (The Coral Reef Rehabilitation and Management Program) adalah sebuah program rehabilitasi terumbu karang dengan konsep manajemen berbasis komunitas dan kolaboratif.

Pada akhirnya yang dibutuhkan dalam upaya konservasi terumbu karang bukan hanya program yang baik, akan tetapi komitmen, keterlibatan dan kepedulian semua pihak.

Oleh : 

Grace Sondang Yunika 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline