Masih rendahnya angka transaksi non-tunai di Indonesia dibanding negara-negara ASEAN mengundang perhatian Bank Indonesia (BI). Demi meningkatkan penetrasi transaksi tanpa melibatkan uang kartal, BI intensif menggalakan kampanye Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT) ke seluruh penjuru nusantara.
Untuk itu, BI menggandeng Kompasiana menggelar event bertajuk “Nangkring - Gerakan Nasional Non-Tunai” di Kantor Bank Indonesia Surabaya, Sabtu (28/3). Pada kesempatan itu, Asisten Manager Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI, Diatmana Parayudha, mengawali penjelasannya dengan apa yang dimaksud sistem pembayaran. Menurut dia, sistem pembayaran menyangkut tiga komponen dalam bertransaksi. Yakni, lembaga, aturan, dan mekanisme.
Terkait penyelenggaraan sistem pembayaran di Indonesia, BI memegang peranan penting. Pasalnya, BI menjalankan lima fungsi utama yang meliputi regulator, perizinan, pengawasan, operator (khusus untuk transaksi nominal besar) dan fasilitator.
Lebih jauh, Diatmana memaparkan data pertumbuhan transaksi non-tunai/elektronik. Sejatinya, pertumbuhan transaksi elektronik di Indonesia bisa dikatakan tidak terlalu mengecewakan. Secara global, kegiatan jual-beli non-tunai mencapai 26,6 persen. Sementara pertumbuhan tertinggi dipegang oleh Tiongkok dengan 32,4 persen. Sayangnya, imbuh dia, dengan pertumbuhan 26,6 persen tersebut, ternyata uang tunai masih mendominasi transaksi ritel di tanah air. Di banding negara-negara di ASEAN, persentase transaksi ritel secara cash di Indonesia masih tertinggi, yakni 99,4 persen. “Hal inilah yang menjadi concern kami untuk mendongkrak transaksi non-tunai sekaligus meminimalisir penggunaan uang kartal,” katanya.
Guna merealisasikan itu, BI mulai mempromosikan penggunaan uang elektronik sebagai alternatif pengganti uang tunai. Dijelaskan Diatmana, uang elektronik sama halnya uang pada umumnya. Hanya saja bentuknya lebih praktis. Kebanyakan, uang elektronik berwujud kartu. Tapi belakangan, bank-bank mulai kreatif mengembangkan alat transaksi tersebut dengan berbagai bentuk, seperti gelang dan stiker.
Berbeda dengan tabungan, uang elektronik tidak berbunga. Fungsinya hanya digunakan sebagai alat pembayaran. “Anggap saja seperti kita menyimpan uang Rp. 100.000 di dompet. Sampai kapan pun nominalnya akan tetap sama entah itu 10 atau 20 tahun lagi. Bedanya, uang elektronik bukan berbentuk lembaran kertas, melainkan sarana lain seperti kartu, gelang maupun stiker,” terang pria berkacamata ini.
Sedangkan berdasar medianya, uang elektronik terbagi dua. Yaitu chip base dan server base. Chip base digunakan pada uang elektronik berbentuk fisik. Sementara, server base datanya berada di sistem perbankan yang mana transaksinya bisa dilakukan melalui gadget/handphone.
[caption id="attachment_406346" align="aligncenter" width="700" caption="Diatmana Parayudha (tengah) bersama Herlina (kanan) menjadi narasumber dalam Nangkring - Gerakan Nasional Non-Tunai di Kantor Bank Indonesia Surabaya pada Sabtu (28/3). (dok. pribadi)"][/caption]
Keunggulan Uang Elektronik
Kegetholan BI merangsang masyarakat beralih ke uang elektronik bukannya tanpa sebab. BI melihat, uang elektronik menyimpan banyak keunggulan jika dibanding uang tunai. Menurut Diatmana, setidaknya ada enam kelebihan uang elektronik.
Pertama, uang elektronik lebih praktis. Membawa uang senilai Rp 1 juta di dompet tidak akan terasa tebal, sebab nominal tersebut tersimpan dalam satu kartu. Di samping itu, masyarakat tidak perlu ribet dengan uang kembalian. Sebab, nominal uang elektronik akan langsung terpotong sesuai harga yang harus dibayar.
Kedua, efisiensi biaya. Sebagaimana diketahui bahwa biaya percetakan uang oleh BI sangat mahal. Dengan adanya instrumen non-tunai, maka pengeluaran untuk produksi uang bisa lebih ditekan. Di sisi lain, efisiensi juga berlaku bagi para pedagang. Sebab, mereka tidak perlu menghandle uang tunai dalam jumlah banyak. “Bayangkan jika para pedagang tiap hari harus mengelola uang tunai setiap sehabis tutup toko. Maka, uang itu perlu dilindungi, diamankan, diasuransikan dan sebagainya,” kata Diatmana.
Ketiga, aspek keamanan. Keamanan selalu menjadi perhatian penting bagi BI. Penggunaan uang tunai selalu menyimpan risiko peredaran uang palsu. Oleh karenanya, bertransaksi dengan uang elektronik, masyarakat tidak perlu khawatir akan problem tersebut. Seluruh proses perpindahan uang akan semakin lancar karena semuanya by system oleh kegiatan perbankan.
Keempat, velocity of money atau kecepatan perpindahan uang. Semakin tinggi perpindahan uang maka secara teori, perekonomian akan meningkat. Hal ini disebabkan oleh peningkatan transaksi yang bisa diterjemahkan dengan pergerakan ekonomi masyarakat yang aktif. Kondisi tersebut pada akhirnya juga akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Kelima, mudah dicatat. Salah satu kelemahan transaksi konvensional di Indonesia adalah lemahnya pencatatan detail transaksi, baik oleh pembeli maupun penjual. Masalah ini bisa diatasi dengan transaksi non-tunai. Sebab, penggunanan uang elektronik maupun instrumen non-tunai lainnya selalu tercatat dengan baik by system. Jika seluruh transaksi dilakukan secara non-tunai maka hal itu akan sangat memudahkan perekaman data ekonomi makro suatu negara.
Keenam, aspek kelancaran bertransaksi. Penggunaan uang kartal sedikit-banyak berkontribusi terhadap lamanya pelayanan di loket-loket pembayaran. Rata-rata kasir membutuhkan waktu khusus hanya untuk menyiapkan kembalian. Kondisi tersebut bisa dieliminir dengan penggunaan uang elektronik. Setidaknya alokasi waktu penyiapan uang kembalian bisa dihilangkan. “Inilah mengapa ke depan uang non-tunai kami dorong untuk menggantikan uang tunai dalam setiap transaksi,” terangnya.
Strategi BI Tingkatkan Transaksi Non-Tunai
Uang elektronik mulai populer di Indonesia pada tahun 2009. Saat itu, penggunaan uang elektronik diawali oleh salah satu bank BUMN untuk pembayaran tarif jalan tol. Sejak 2009 hingga 2015, BI mencatat pertumbuhan uang elektronik sekitar 44 persen rata-rata per tahunnya. Angka tersebut paling tinggi dibanding instrumen non-tunai lainnya, seperti kartu ATM debet maupun kartu kredit. Yang lebih menggembirakan, pertumbuhan uang elektronik seiring-sejalan antara volume dan nominal. Dari segi penerbit pun, sudah mengalami peningkatan. “Kalau pada awal kemunculannya dulu, penerbit uang elektronik tidak terlalu banyak. Sekarang, sudah ada 20 penerbit yang berstatus bank maupun non-bank,” kata Diatmana.
Kendati demikian, BI masih menjumpai sejumlah kendala yang menghambat perkembangan uang elektronik. Diatmana menyebut aspek perilaku/kebiasaan dan infrastruktur menjadi “lawan” utama yang harus ditaklukan. Mayoritas masyarakat Indonesia masih cukup nyaman bertransaksi dengan uang tunai. Kebiasaan yang sudah berlangsung cukup lama memang tidak mudah diubah dalam sekejap mata. Untuk itu, diperlukan suatu gerakan nasional dan kampanye masif dari semua stakeholder. Kegiatan yang dimaksud bisa berupa seminar, talkshow serta sosialisasi-sosialisasi yang bersifat edukatif. “Dalam mengedukasi masyarakat, kami menggandeng sejumlah pihak. Contohnya seperti kegiatan Nangkring - Gerakan Nasional Non-Tunai ini yang bekerja sama dengan Kompasiana,” ujar Diatmana.
Terkait aspek infrastruktur, alumnus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) jurusan Teknik Informatika ini menyatakan, pihaknya bersinergi dengan elemen perbankan dan non-perbankan memperbanyak mesin electronic data capture (EDC). Sebab, EDC adalah syarat utama yang harus dimiliki merchant jika ingin melayani transaksi non-elektronik. “Ketika infrastruktur semakin tersebar, maka otomatis masyarakat semakin mengenal. Itulah pemicu utama sehingga masyarakat diharapkan bisa migrasi dari transaksi tunai ke non-tunai,” tutur Diatmana.
Tantangan lain yang harus dihadapi adalah soal pemerataan. Maklum, uang elektronik sejauh ini masih terkonsentrasi di wilayah Jawa dan Sulawesi Selatan. Di Jawa pun masih di beberapa daerah. Berdasar data BI, transaksi tertinggi uang elektronik dipegang oleh Provinsi DKI Jakarta dan Banten. Di luar kedua provinsi tersebut, DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) mencatatkan perkembangan uang elektronik yang cukup memuaskan. Sedangkan Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah belum menunjukkan perkembangan signifikan. Hal ini ditandai dengan warna merah pada peta BI yang menandai bahwa penggunaan uang elektronik di kedua provinsi tersebut masih sangat minim.
Untuk mengatasi masalah tersebut, BI sudah menyiapkan strategi khusus, yakni dengan membentuk satuan kerja yang fokus menangani elektronifikasi. Di samping itu, selama dua tahun ke depan, manajemen BI akan fokus bekerja sama dengan lembaga pemerintahan meliputi kementerian dan pemerintah daerah. Harapannya, transaksi di seluruh instansi pemerintahan bisa dilakukan secara non-tunai dengan infrastruktur yang menunjang. Dengan demikian, penggunaan uang elektronik diprediksi bisa lebih menyebar di seluruh Indonesia. “Saat ini sudah terjalin kerja sama dengan 34 kementerian dan sejumlah pemerintah daerah. Ke depan, akan terus ditingkatkan dan diperluas lagi,” paparnya.
Misi BI mendorong transaksi non-tunai mendapat dukungan dari Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI). Perwakilan ASPI Herlina menyatakan, pihaknya sejauh ini aktif mendorong para nasabah bank memiliki uang elektronik. Dalam setiap kesempatan, dia memberikan informasi berbagai keuntungan yang didapat dari uang elektronik. Beberapa faktor yang mampu mendorong masyarakat beralih ke uang elektronik, kata Herlina, di antaranya sifat uang elektronik tidak perlu batas usia, tidak perlu slip gaji, mudah didapatkan, tidak perlu PIN saat bertransaksi, serta bisa dipindahtangankan.
[caption id="attachment_406347" align="aligncenter" width="700" caption="Herlina menunjukkan cara kerja mesin EDC (dok. pribadi)"]
[/caption]
Ditanya soal sekuritas, Herlina menghimbau masyarakat tidak perlu ragu. Jika ada yang mencurigakan, pemegang uang elektronik hanya perlu mengecekkan detail transaksi, apakah terjadi dobel transaksi atau tidak. Selain itu, dikarenakan uang elektronik tidak membutuhkan PIN, maka dia menyarankan masyarakat menyimpannya dengan hati-hati. “Jangan sampai hilang, perlakukanlah uang elektronik sama halnya dengan uang anda sekarang yang ada di dompet. Makanya, batas maksimal isi uang elektronik dibatasi Rp 1 juta saja. Hal ini untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk,” katanya.
Di sisi lain, Herlina menjelaskan tentang keunggulan pedagang memiliki EDC. Selain bisa bertransaksi secara non-tunai, dengan EDC pedagang tidak perlu repot-repot hitung uang cash pada akhir hari penutupan. Semua tercatat dengan baik. Pedagang hanya perlu melakukan settlement sebagai rekonsiliasi pada akhir hari agar nominal uang masuk ke rekening. “Di samping itu, penggunaan EDC tidak dikenakan biaya sewa. Masyarakat tinggal mengajukan permohonan ke bank serta memenuhi sejumlah persyaratan,” pungkas wanita yang juga bekerja di salah satu bank swasta ini.(*)
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H