Lihat ke Halaman Asli

Jeffry Kurniawan

Pecandu Ilmu

Pendidikan Multikulturalisme pada Pagelaran Purnama Seruling Penataran

Diperbarui: 27 Agustus 2020   15:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

timesindonesia.co.id

Pendidikan multikultural merupakan strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada para peserta didik seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, kelas sosial, ras, kemampuan, dan umur agar proses belajar menjadi efektif dan mudah (Yaqin, 2005: 25).

Pagelaran Purnama Seruling Penataran merupakan bentuk realisasi tujuan NKRI melalui bidang seni budaya. Tujuan NKRI tersebut tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea ke-4 "Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social" (Brahmantya, 2013:5).

Dalam pagelaran Purnama seruling penataran ini terdapat pendidikan multikulturalism yang mengusung konsep The Stage of  World's Fertenity and Peace, artinya panggung persaudaraan dan perdamaian dunia. Dewan Kesenian Kabupaten Blitar ingin mengembalikan kenangan atas kejayaan masa lalu Kerajaan Majapahit yang berhasil menyatukan nusantara lewat sumpah palapa yang diucapkan oleh Mahapatih Gajah Mada di Candi Penataran.

Pendidikan multikulturalisme semakin terlihat pada pertunjukan yang menampilkan ritual budaya umbul donga gulo klapa yang menampilkan 4 penari dari Indonesia, Yunani dan Amerika Serikat. Indonesia diwakili oleh Suprapto Suryodarmo dari Padepokan Lemah Putih Solo dan Wisnu HP dari kelompok seni Sabuk Janur Ponorogo. Sementara Yunani diwakili oleh Yolanda, Amerika Serikat oleh Diana.

Ritual umbul donga gulo klapa ini menggambarkan perlunya manusia untuk menyatu dengan alam. Dari sini terlihat jelas bahwa kesenian tradisional yang dimainkan oleh pemain yang berbeda latar belakang, suku, agama dan ras bisa membaur menjadi satu dan menyatu dengan alam.

Pertunjukan lainnya yaitu Nini Diwut yang merupakan sebuah permainan rakyat yang melibatkan alam gaib. Dengan memanggil arwah wanita cantik yang dikenal dengan nama Nini Diwut, para perawan desa kemudian menyiapkan sebuah boneka perempuan cantik yang berbentuk mirip tudung tumpeng.

Arwah Nini Diwut kemudian dimasukan ke dalam boneka ini dan digoda oleh para pemuda. Setelah digoda, Nini Diwut akan mengejar para pemuda yang menggodanya. Boneka Nini Diwut hanya boleh dipegang oleh gadis perawan dan tidak boleh terlepas.

Dari permainan ini kita bisa belajar bahwa ada dunia lain selain manusia dan mereka bukan penganggu melainkan dapat saling melengkapi dan bermain dengan mereka sehingga ada keseimbangan alam yang harmonis.

Pertunjukan berikutnya yaitu Yawri musisi etnik asal Ekuador, Amerika Selatan. Musisi etnik Indian yang identik dengan berbagai macam alat tiup bambunya itu berhasil memukau warga yang hadir malam itu. Lantunan lagu-lagu Indian ditengah Candi Penataran yang dihiasi obor dan lampion seakan memberitahu penonton bagaimana rasanya menyatu dengan alam.

Dari kolaborasi seniman antar benua ini menghasilkan mahakarya umat manusia yang luar biasa ini sehingga dapat memberi tontonan dan tuntunan bagi yang melihatnya. Pagelaran ini menunjukan bahwa pendidikan multikulturalisme ini dapat dikemas dengan baik dan tidak kaku sehingga diharapkan masyarakat bukan hanya menikmati pertunjukan tetapi juga mendapatkan nilai bahwa perbedaan itu indah, menyatu dengan alam itu asyik, dan tidak lupa bersyukur pada Tuhan atas apa yang tuhan berikan dalam hidup kita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline