Pendidikan nilai adalah pendidikan yang mempertimbangkan obyek dari sudut moral dan sudut pandang nonmoral, yang meliputi estetika yaitu menilai obyek dari sudut pandang keindahan dan selera pribadi. Etika yaitu menilai benar atau salahnya dalam hubungan antarpribadi.
Tujuan pendidikan nilai secara global adalah mencapai manusia yang seutuhnya menjadi manusia purnawan sedangkan Desschooling society merupakan sebuah buku yang ditulis oleh Ivan Illich yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi bebaskan masyarakat dari belenggu sekolah.
Menurut Ivan Illich pendidikan merupakan segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup seseorang. Tujuan utamanya adalah pembebasan.
Pembebasan di sini berbicara mengenai membebaskan setiap orang untuk dapat memperoleh sumber belajar, membebaskan setiap orang untuk membagikan keterampilannya dan menjamin kebebasan mengajar, membebaskan setiap orang untuk tidak berharap pada jasa profesi manapun dan menjamin setiap orang agar dapat memberi saran dan kritik tentang pendidikan.
Menurut saya korelasi desschooling society dengan pendidikan nilai sangat berhubungan atau sangat relevan karena sistem pendidikan di Indonesia saat ini telah kehilangan makna dan nilai. Hal ini karena para pelaku pendidikan saat ini lebih mementingkan skill bukan knowledge. Jadi hanya memberi pelajaran saja tanpa memberikan wisdom, mereka bukan diajar untuk berbuat baik melainkan hanya bisa melakukan dengan baik.
Proses pendidikan yang terbangun adalah sebuah ruang terbatas bagi penciptaan mesin-mesin (robot) pekerja yang hanya memiliki kemampuan berfikir statis, bukan pada sebuah proses penciptaan manusia pemikir yang sangat diperlukan untuk kelangsungan kehidupan di permukaan bumi ini.
Di sinilah Ivan illich mengecam pendidikan (sekolah) yang berlangsung karena disekolah berlangsung dehumanisasi yaitu proses pengikisan martabat kemanusiaan. Sekolah telah terasing dari kehidupan nyata. Menurutnya seseorang dapat dikatakan sebagai guru apabila seseorang itu tidak hanya sekedar dari ijasah tapi juga dari kemampuannya.
Seseorang yang memiliki kemampuan dapat juga dikatakan guru dan dapat memberikan pengetauannya kepada orang lain. Dalam pernyataannya guru saat ini menjadi langka dikarenakan adanya kewajiban untuk mempunyai ijasah dalam pekerjaannya. Padahal jika ditelaah lebih lanjut, sertifikat adalah barang yang dibuat-buat oleh pasar, seolah-olah itu merupakan suatu keharusan.
Pendidik yang berkompeten kadang tidak mempunyai sertifikat namun sebaliknya pendidik yang bersertifikat tidak mempunyai keterampilan yang cukup dan ironisnya yang digambarkan oleh Ivan Illich terjadi di Indonesia seperti yang disebutkan dalam UU No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, pendidikan adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, infrastruktur, fasilitator dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan sehingga tak heran apabila seseorang hanya mengejar ijasah atau sertifikat dengan segala cara tanpa memedulikan kualitas atau kemampuan yang dimiliki.
Peserta didik menurutnya merupakan subyek yang aktif dalam proses pembelajaran, di mana proses pendidikan diharapkan bisa menumbuhkan kesadaran kritis guna melakukan tranformasi sosial bukan sebagai robot-robot produksi untuk mendukung kapitalisme. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa desschooling society dan pendidikan nilai memiliki hubungan yang saling terkait.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H