Lihat ke Halaman Asli

Antara Buku Obral dan Nasib Penulis Indonesia

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14198633541494233632

[caption id="attachment_387059" align="aligncenter" width="530" caption="Ilustrasi (foto.kompas.com)"][/caption]

Buku obral merupakan sebuah fenomena yang unik dalam industri buku di Indonesia. Mengapa saya katakan unik?

Unik karena fenomena buku obral ini punya dua sisi yang sangat bertolak belakang. Bagi penerbit dan penulis buku yang diobral, tentu buku obral merupakan sebuah mimpi buruk yang harus dihindari. Bagaimana tidak buku yang semula berharga 50 ribu bisa diobral dengan harga sebungkus nasi goreng seharga 10 ribu. Buku kok disamakan dengan nasi goreng.

Namun di sisi lain, banjirnya buku obral kerap menghibur hati orang-orang seperti saya yang suka "kalap" kalau meliha buku obral. Ketika melihat tumpukan buku obral, hati ini menjadi senang dan rasanya semua buku itu mau diborong. Salah satu pengalaman saya yang sangat berkesan berkaitan dengan buku obral adalah saya pernah membeli buku digital imaging dan buku fotografi dengan harga yang sangat terjangkau. Buku-buku fotografi dan digital imaging termasuk buku dengan harga yang relatif tinggi (biasanya bisa sampai 70 ribu atau lebih). Namun entah kebetulan atau apa, waktu itu buku-buku keren seputar digital imaging itu bisa saya bawa pulang cukup dengan harga 15 ribu per buku.

Setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan sebuah buku diobral penerbit. Beberapa faktor tersebut sangatlah dipengaruhi oleh iklim industri buku Indonesia.

Terbatasnya Sumber Daya Penerbit


Faktor penyebab utama mengapa buku obral betebaran di mana-mana adalah terbatasnya sumber daya penerbit. Sebenarnya sumber daya yang dimiliki penerbit sudah cukup oke. Hanya saja, sumber daya yang dimiliki tak sanggup meng-cover seluruh aktivitas produksi buku.

Bayangkan saja, sebuah penerbit mayor bisa menerbitkan lebih dari 200 judul dalam sebulan. Jika dalam sebulan sebuah penerbit mayor bisa menerbitkan lebih dari 200 judul maka berapa ribu judul yang terbit dalam satu tahun? Ribuan.

Itu baru dari satu penerbit. Belum ditambah dengan penerbit-penerbit lain.

Ribuan judul dalam satu tahun harus dipasarkan oleh tim pemasaran penerbit. Berapa banyak sih tim pemasaran sebuah penerbit? Apakah tim pemasaran yang terbatas jumlahnya itu bisa menangani ribuan judul?

Karena terbatasnya sumber daya inilah maka banyak buku tidak mendapatkan perlakuan istimewa. Buku-buku tertentu dari penulis best seller biasanya mendapatkan perhatian lebih dari penerbit. Sedangkan buku-buku yang berasal dari penulis non-best seller cenderung terabaikan promosinya.

Ketika sebuah buku kurang dipromosikan maka dampaknya tentu saja buku tersebut kurang dikenal masyarakat. Tak heran, buku-buku yang kurang dipromosikan itu menjadi buku yang pergerakannya lambat alias tidak laku. Buku-buku tidak laku inilah yang kerap menumpuk di gudang dan dalam kurun waktu lebih kurang setahun akan menjadi buku obral.

Minat Baca Masyarakat yang Masih Rendah

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline