Ken Dwijugiasteadi Layak Didefinitifkan Menjadi Dirjen Pajak
Besarnya target yang diemban oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai tulang punggung penerimaan negara tidak dapat dianggap remeh dalam menjamin keberlangsungan hidup bernegara. Dalam APBNP tahun 2015 Target penerimaan Negara sebesar Rp 1.761,6 Trilliun dengan perencanaan belanja negara sebesar Rp 1.984,1 Trilliun sehingga mengacu kepada APBNP 2015 tersebut diperkirakan defisit APBN sebesar Rp 222,5 Triliun atau 1,9% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dari target penerimaan negara sebesar Rp 1.489,3 Trilliun (Pajak dan Bea Cukai) tersebut, penerimaan perpajakan diharapkan dapat menyumbang sebesar Rp 1.294 Trilliun atau sekitar 86,88% dari target Penerimaan negara. Dengan defisit maksimal yang diatur dalam UU Keuangan Negara dan UU APBN sebesar 3% dari PDB, atau sebesar Rp 351,3 Trilliun, apabila target tersebut meleset sebesar 10% saja, nominalnya sudah sebesar Rp 148,93 Trilliun. Hal ini akan berpotensi mengakibatkan defisit APBN semakin melebar karena bertambah Rp 371,43 Trilliun (Rp 222,5 Trilliun + Rp 148,93 Trilliun) atau sebesar 3,1% dari PDB. Besaran defisit tersebut dapat diartikan bahwa pemerintah melanggar UU Keuangan Negara dan UU APBNP.
Lantas, darimana pemerintah akan menutupi defisit tersebut? Selama ini yang dilakukan adalah tidak lain tidak bukan dengan utang. Apabila setiap tahun utang kita bertambah minimal Rp 371,43 trilliun, dalam 5 tahun atau 1 periode pemerintahan, utang kita akan bertambah Rp 1.857,15 trilliun. Apa yang akan kita wariskan buat anak cucu kita? Bahkan calon Warga Negara Indonesia yang baru lahir pun sudah akan terbebani oleh utang. Sungguh ironis di negara yang kaya dengan sumber daya alam seperti negara kita ini harus dililit utang yang sedemikian besarnya. Posisi utang kita per Oktober 2015 mencapai USD 302,4 Milliar atau sekitar Rp 4.000 Trilliun. Angka tersebut akan terus bertambah apabila defisit terus menghantui setiap tahunnya.
DJP bukanlah alat politik, tetapi punyai peran penting dalam mengumpulkan uang pajak yang akan digunakan dalam pembiayaan operasional dan pembangunan negara, karenanya organisasi besar seperti DJP membutuhkan seorang pemimpin yang benar-benar kuat dan tangguh dalam mengemban amanah yang tidak ringan tersebut.
DJP sendiri telah melakukan banyak pembenahan di bidang SDM, IT, dan juga Transformasi Kelembagaan. Pemerintah juga telah memberikan beberapa perlakuan khusus kepada DJP. Tahun 2015 menjadi menjadi tonggak ujian sesungguhnya bagi DJP. Dengan target penerimaan yang begitu besar, Rp 1.294 Trilliun, DJP dituntut untuk dapat bekerja optimal dalam mengumpulkan sen demi sen penerimaan pajak. Sigit Priadi Pramudito sebagai Dirjen Pajak yang pertama terpilih dengan mekanisme lelang, memulai tugas mulia sebagai Dirjen Pajak per tanggal 6 Februari 2015 dan telah memberikan warna buat DJP. Sebagai birokrat senior yang sudah berpengalaman 37 tahun di DJP beliau mampu mengumpulkan penerimaan pajak sebesar Rp 886 Trilliun per November 2015. Sebagai perbandingan Tahun 2014, realisasi penerimaan pajak per November 2014 adalah Rp 855,9 Trilliun. Artinya di tengah menurunnya harga komoditas dan perlambatan ekonomi, penerimaan pajak masih bisa tumbuh 3,5%. Walaupun realisasi penerimaan tersebut masih kurang karena target sebesar Rp 1.294 Trilliun. Beliau mengundurkan diri dengan elegan karena dianggap gagal memenuhi target penerimaan. Beliau menjadi Dirjen Pajak pertama yang mengundurkan diri di republik ini. Jabatan prestisius yang seharusnya menjadi incaran dan harapan banyak orang dengan legowo dilepas dengan penuh harga diri, martabat dan jiwa ksatria yang tinggi. Sebuah tradisi baru bagi republik ini.
Per tanggal 1 Desember 2015, Sigit Priadi Pramudito digantikan oleh Ken Dwijugiastiadi sebagai Plt. Dirjen Pajak. Sama seperti Sigit, Ken Dwijugiasteadi juga memiliki kapasitas, pengalaman, dan kemampuan yang sangat mumpuni karena sudah lebih dari 41 tahun berkarier sebagai seorang fiskus. Kepercayaan ini sudah diuji dan teruji dan hasilnya terlihat dalam rentang waktu satu bulan setelah menjabat. Menko Perekonomian, Darmin Nasution, pernah mengatakan target penerimaan pajak yang ditetapkan terlalu tinggi, namun Ken berhasil menorehkan sejarah pencapaian penerimaan pajak sebesar Rp 1.061 Trilliun. Tapi tahukah Saudara bahwa dalam angka Rp 1.061 Trilliun itu sebanyak Rp 175 Trilliun dikumpulkan hanya dalam bulan Desember 2015 saja. Ya, 16,49% dari realisasi penerimaan pajak tahun 2015 diperoleh hanya dalam 1 bulan. Disinilah kapasitas, pengalaman dan kemampuan seorang Ken Dwijugiasteadi berbicara.
Tapi begitulah, Dirjen Pajak merupakan jabatan prestisius namun tidak populis karena keberhasilan seorang Dirjen Pajak adalah keberhasilan Pemerintah yang dalam hal ini Menteri Keuangan. Ironisnya kegagalan Dirjen Pajak adalah kegagalan Dirjen Pajak (DJP) semata-mata bukan kegagalan seorang Menteri Keuangan. Bagaimana ukuran keberhasilan seorang Dirjen Pajak hanyalah dinilai dari besaran penerimaan pajak yang telah dicapainya. Sama seperti pendahulu beliau, apakah 10 bulan cukup menentukan prestasi atau kegagalan Sigit sebagai seorang Dirjen Pajak?
Bagaimana mungkin hanya dalam kurun waktu 10 bulan seorang Dirjen Pajak dianggap mampu untuk membenahi DJP yang sedemikian besarnya, sedangkan seorang Gubernur atau Bupati saja dalam 5 tahun belum tentu bisa membenahi Propinsi atau Kabupaten yang dipimpinnya. Bahkan belum pernah seorang Gubernur atau Bupati mundur dalam periode jabatan yang diembannya kalau tidak dimundurkan karena kasus dan tersangkut masalah hukum lainnya.
Demikian juga dengan Dirjen Pajak, perlu waktu untuk melakukan konsolidasi, memetakan masalah, meramu strategi penggalian potensi pajak, dan mencapai target penerimaan yang angkanya tidak datang dari langit. Perlu proses, perlu strategi dan perlu kepercayaan kepada seorang Dirjen Pajak untuk mencapai target penerimaan pajak yang dibebankan padanya. Dengan prestasi yang begitu luar biasa hanya dalam sebulan maka sudah sepantasnyalah Ken Dwijugiastiadi langsung didefinitifkan menjadi Dirjen Pajak. Disamping tidak perlu proses yang panjang beliau juga dapat langsungaction dan bekerja mengejar target penerimaan yang begitu besar dengan cepat dan tepat. Dan karena menyangkut jabatan strategis, maka perlu untuk diberikan jangka waktu yang jelas untuk menjabat misalnya menjabat untuk 3 tahun atau 4 tahun berikutnya.
Hanya saja, beliau juga dihadapkan pada masalah keterbatasan dalam fleksibilitas organisasi dan peraturan, sehingga untuk masa jabatan yang belum diatur ini masih menjadi perdebatan. Tapi setidaknya penulis melihat perlu jangka waktu yang lebih dari 3 tahun untuk dapat melihat perubahan dan pencapaian yang terjadi dalam tubuh organisasi sebesar DJP. Jangan baru bekerja sebulan sudah langsung diganti yang baru. DJP butuh kepastian dan ketegasan. Sudah saatnya demi mencapai target penerimaan yang extraordinary itu dilakukan dengan langkah-langkah yang extraordinary juga. DJP butuh kewenangan, keleluasaan, fleksibilitas dalam mengatur organisasinya sendiri tanpa intervensi politik. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan membuat organisasi DJP menjadi Badan Otonom yang berada dibawah Presiden langsung.
Karena di banyak negara maju seperti Amerika dan Eropa, otoritas pajak merupakan badan independen yang dapat menentukan sistem keuangan di negara tersebut. Karena dengan otonomisasi perpajakanlah negara ini dapat bebas dari intervensi politik dan mengurangi porsi utang yang selama ini menggerogoti keuangan negara. Jika sistem perpajakan kita bagus maka otomatis Keuangan negara kita pun akan bagus. Penulis berharap di tahun-tahun yang akan datang kita tidak perlu membiayai pembangunan dari utang luar negeri sebaliknya kitalah yang memberi utangan ke luar negeri. Maka kita sebagai negara besar tidak akan pernah mengemis-ngemis lagi ke luar negeri untuk mendapatkan utangan. Kita tidak akan pernah bergantung kepada negara lain, karena seharusnya negara lainlah yang bergantung kepada kita. Tidak akan ada lagi kemiskinan. Semua stakeholder dapat berkontribusi untuk mewujudkannya khususnya dari para Wajib Pajak. Karena itulah DJP perlu dimandirikan, DJP perlu dijadikan Badan Penerimaan yang langsung berkoordinasi dengan Presiden agar dapat bebas dari intervensi politik. Tanpa wewenang yang besar dan luas agak sulit buat DJP mengejar target-target fantastis yang harus dicapai oleh negeri ini.