Lihat ke Halaman Asli

Jeff Sinaga

Suka menulis, olahraga dan berpikir

Si Tukang Becak yang Baik Hati

Diperbarui: 17 Oktober 2016   18:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saat sedang asik beraktivitas dengan laptop masing-masing, tiba-tiba terdengar suara bertanya-tanya. “kreta supra punya siapa?”, saya tidak terlalu menghiraukan karena mengingat sepeda motor saya bukan supra dan biasanya kalau ada yang bertanya seperti itu adalah orang yang sepeda motornya terjebak di tengah dan si empunya ingin keluar. Namun suara itu masih saja terdengar dan bertanya lagi, “bang, kreta supra punya abg ya?” kemudian saya menoleh ke belakang, ternyata pria itu adalah seorang bapak yang masih mengenakan helm dan langsung mencolek pemuda yang duduk di sebelah saya dengan pertanyaan yang sama yaitu siapa yang punya sepeda motor honda tersebut. Sesaat melihat beliau sekaligus menggeleng kepala asumsi saya masih sama yaitu bapak ini ingin pulang dan mengeluarkan sepeda motornya tapi terjebak diantara sepeda motor yang lain. Namun kok perasaan saya ganjil ya, kenapa juga ada bapak-bapak pakai helm bertanya kepemilikan sepeda motor ditempat banyak anak muda nongkrong dengan laptop masing-masing namun si bapak tidak terlihat memakai gadget maupun menenteng laptop?

Rasa penasaran itu membuat saya kembali memperhatikan bapak tersebut yang berjararak kira-kira hanya tiga meter di belakang saya. Akhirnya setelah dicolek si bapak, pemuda di samping saya kemudian merespon pertanyaannya dan mengakui kalau itu adalah sepeda motornya. “supra hitam ya pak? Kalau supra hitam itu memang kreta saya”, balas si pemuda itu. Kemudian si bapak tersebut berkata, “kuncinya masih lengket di kreta dek, sayang nanti kalau dicuri orang”. O ternyata si bapak bukan ingin menggeser sepeda motornya keluar melainkan cuma sekedar memperingatkan si empunya sepeda motor kalau kuncinya masih tertinggal di situ. Saya terus mengamati si bapak tersebut sampai akhirnya beliau pergi keluar. Sambil berlari menyeberang jalan, si bapak tersebut kelihatan menuju sebuah becak motor di seberang jalan dari tempat kami nongkrong yang berjarak kira-kira 15 meter. Ternyata si bapak itu seorang penarik betor. Mungkin pas lewat beliau sambil lalu memperhatikan ada kunci yang masih tersangkut di sepeda motor sementara orang-orang di sekitar tersebut tidak tau dan sibuk dengan aktivitas masing-masing.

Si bapak memutuskan untuk berhenti dari betornya, menyeberang dan bertanya hanya demi memberi tahu kalau kunci motor tersebut masih tertinggal. Sikap kepedulian beliau yang tanpa pamrih membuat saya terkesima, betapa pedulinya bapak ini ditengah-tengah kehidupan kota yang rakus dan tidak acuh bahkan terhadap orang disampingnya. Suatu sikap patriot yang jauh lebih heroik dibanding para aparatur negara yang sibuk memeras rakyat dengan berbagai pungutan liar.

Saya juga pernah dihadapkan kepada situasi yang menguji kejujuran diri. Saat membeli membeli beberapa item keperluan, kemudia si penjual menjumlahkan uang yang harus dibayar. Kemudian saya membayarnya dan kembali pulang. Sesampai di rumah saya teringat sejumlah yang diberikan si penjual tadi dan membandingkan item barang yang saya beli perasaan kenapa lebih murah? Sepeda motor sudah berhenti namun mesin masih hidup saya mengkalkulasi kembali dengan cepat harga-harga barang yang saya beli dan ternyata si penjual missed satu item. Akhirnya saya kembali ke si penjual dan berbicara perihal kurangnya sejumlah barang yang saya bayar karena beliau salah hitung. Kemudian saya memberi sejumlah kekurangan uang tersebut. Dengan wajah yang sangat gembira si penjual mengucapkan terima kasih berkali-kali sampai saya memutar sepeda motor untuk kembali.

“udah jarang orang jujur sekarang ini bang, apalagi di kota”, sahut temannya di toko tersebut. Saya Cuma senyum kemudian pulang.

Mungkin memang betul sangat jarang ditemukan orang jujur saat ini. mungkin bukan hanya karena niat yang jahat, namun seringkali karena rasa “malas” untuk jujur. Rasa malas inilah yang membuat manusia modern sekarang kurang berempati dan tidak memiliki tanggung jawab untuk peduli. Padahal satu kebaikan yang diperbuat mampu memberikan kebaikan lainnya. Saat orang lain melihat kebaikan yang kita lakukan, saat itu juga kebaikan tersebut mengalir bagi orang lain untuk kemudian dilakukan kembali. Bagaimana bila 250 juta orang Indonesia melakukan satu kebaikan?

*kreta: sepeda motor

*betor: becak bermotor

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline