Lihat ke Halaman Asli

Jeff Sinaga

Suka menulis, olahraga dan berpikir

Belajar Cinta Dan Semangat Hidup Dari Film Ini

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak jarang banyak dari kita tidak menyadari kesempurnaan hidup yang kita miliki. Lupa bersyukur dan tidak bercermin dengan “suatu” kekurangan hidup yang mungkin dimiliki oleh sebagian lainnya, namun di sisi yang berbeda mereka sangat bersemangat untuk hidup. mungkin itulah cara mereka bersyukur atas kesempatan hidup yang masih boleh mereka rasakan.

The Fault In Our Stars merupakan film yang diadopsi dari novel dengan judul yang sama. Cerita dan pemerannya sangat luar biasa. Film ini mengisahkan tentang seorang pasien kanker berusia tujuh belas tahun bernama Hazel, yang dipaksa oleh orang tuanya untuk menghadiri kelompok pendukung, di mana dia kemudian bertemu dan jatuh cinta dengan Augustus Waters yang berusia delapan belas tahun, yang sepertinya menderita kanker osteosarcoma dan kehilangan satu kakinya.

Saat Hazel membaca sebuah buku favoritnya dia mengutip kalimat, “pain demands to be felt”, rasa sakit perlu dirasakan. Bagi saya itu sangat bermakna. Rasa sakit mampu mengeluarkan jati diri kita sesungguhnya. Apakah kita pejuang (survival) ataukah putus asa dan menyerah (desperate)? Saat rasa sakit benar-benar dirasakan, si pejuang akan melakukan, menikmati dan mensyukuri yang terbaik yang pernah dan masih ada dalam kehidupannya. Salah satunya adalah cinta dan perhatian dari orang terdekat, keluarga, sahabat dan lingkungan. Tidak perlu pengakuan untuk dikenang, sebab mereka tau itu tidak akan merubah apapun dan hanya sementara.

Sebaliknya, rasa sakit bagi yang putus asa hanya akan menambah kekecewaan, rasa ketidakadilan dan haus akan ketidakjelasan. Bukannya mengusahakan dan melakukan yang terbaik dalam sisa hidup, melainkan sibuk dalam lingkaran penyelasan, kekecewaan dan kepahitan.

“...mengerti rasanya sekarat tanpa benar-benar mati”, adalah ungkapan yang menyadari keadaan berserah namun tak menyerah. Suatu sikap yang mengerti rasanya benar-benar diambang pintu tanpa harus melambaikan bendera keputusasaan.

Pun saat Isaac, temannya si Gus yang telah diputus oleh pacarnya, yang pada saat itu dapat dikatakan sangat depresi namun dengan lembut Hazel mengatakan, “terkadang manusia tak paham akan janji-janji yang mereka buat.”

Memang “mungkin” sebagian kita adalah pribadi seperti itu. Perkataan mendahului akal sehat, bicara duluan, mikirnya belakangan, akhirnya saat diminta pertanggungjawaban Cuma bisa gelagapan bahkan lari tanpa jejak, pecundang. Ada berapa banyak orang-orang seperti itu?

Augustus merelakan barang-barangnya dipecahkan agar temannya Isaac mampu meluapkan segala kekecewaan dan amarahnya. Suatu sikap seorang sahabat yang tak mempedulikan hal kecil demi membantu menenangkan teman baiknya tersebut. Demikian juga terhadap Hazel, yang sebenarnya dia tidak terlalu suka membaca novel selain yang mengandung unsur zombie, namun menuruti juga untuk membaca novel kesukaan Hazel.

Mengenai rasa sayang yang mendalam Gus terhadap Hazel pun dia tidak tergesa-gesa atau memaksa. Ungkapan melalui perbuatannya mendahului makna sayangnya terhadap Hazel sampai dia mampu berkata, “suatu kehormatan bila aku patah hati karenamu.”

Walau Hazel tetap menegaskan bahwa dia hanya ingin menjadi teman hanya karena takut memupuskan cintanya Augustus, namun Gus masih bisa tetap tersenyum tanpa mengurangi intensitas perhatiannya seperti biasa.

Salah satu hal yang tak kala lucu adalah saat mereka naik pesawat terbang ke Amsterdam dan ternyata si periang Augustus begitu ketakutan sampai-sampai harus meremas tangan si Hazel yang tertawa melihat ekspresi wajahnya. Namun setelah diatas udara, Gus begitu mengagumi hal-hal yang dapat dia lihat dari ketinggian. Jadi ingat pertama kali naik pesawat ke pulau terluar di provinsi Aceh, jantungan dan merasa seperti akan jatuh. Waktu itu nafas seperti melambat dan keringat dingin mulai bercucuran.

Kisahnya mungkin tidak happy ending bagi sebagian orang, tapi bagi saya cukup menyiratkan banyak makna tentang semangat, cinta, persahabatan, kesetiaan, penerimaan diri, berserah namun tak putus asa, keikhlasan, ketulusan, keseluruhannya membuat film ini begitu bermakna dan meninggalkan kesan indah. Karena pada akhirnya Hazel yang meskipun ditinggal mati oleh Augustus sang kekasinya, masih bisa tersenyum bahagia sambil membaca catatan yang ditinggalkan untuknya.

“maybe she wasn’t love wildly, but she was love deeply. When Hazel was sick, i knew i was dying, but i don’t wanna say so...i’m so lucky that i love her.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline