Lihat ke Halaman Asli

Jeff Sinaga

Suka menulis, olahraga dan berpikir

Mengapa Konsumen Tetap Memilih Produk KW atau Bajakan...?

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Ini Fenomena umum yang terjadi dalam pasar dan masyarakat.

Kebutuhan dan hobi orang itu bermacam-macam. Ada yang suka nonton, dengerin musik, game dan lain-lain. Ada juga yang butuh sandang yang bagus seperti tas, sepatu, celana dan lain-lain. Semua orang suka hal-hal yang bagus baik dari penampilan maupun kualitas. Namun tak semua orang mampu atau boleh menikmati hal-hal yang bagus penampilan dan kualitasnya. Karena biasanya kualitas berbanding lurus dengan harga.

Biasanya memang yang mampu menikmati hal-hal baik (produk) adalah mereka yang berduit. Sayang bagi sebagian besar kita yang kurang berduit harus tahan selera dan tidak sedikit memilih untuk membeli dan menggunakan versi bajakan atau KW yang jelas-jelas telah melanggar hak cipta. Tapi secara awam sepertinya itu sah-sah saja ketika produsen tidak memberi kesempatan konsumen untuk menikmati produk yang bagus dengan harga yang sesuai. Sepertinya ada suatu sikap yang firm akan hal itu. Sementara “orang lain” melihat itu sebagai kesempatan. Pemain-pemain pasar dengan genre bajakan atau KWan memahami kalau mayoritas pasar dikuasai oleh golongan menegah ke bawah, bahkan kebawahnya sekali yang gagal dilihat oleh produsen pasar sebagai market yang potensial.

Jika saja produsen mampu mncari strategi kebocoran produk yang dibajak atau dijadikan KW maka pangsa pasar yang sedemikian besar akan terangkul. Kecuali memang jika produsen sengaja memberi kesempatan pemain pasar ilegal lainnya untuk mengambil keuntungan, maka itu bisa saja. Namun selalu ada kepuasan tersendiri bila kita menikmati produk yang memang asalnya originally dari produsen terkait. Istilahnya barang lebih terjamin kualitasnya dan lebih nyaman makainya karena keasliannya tidak diragukan. Namun sayang, lagi-lagi konsumen golongan bawah harus berpuas diri membeli yang bajakan alias KW. Mengapa seperti itu? Tetap saja kembali ke masalah harga.

Bila saja produsen mau beradaptasi dengan pasar golongan bawah, maka produknya yang asli sudah bisa dinikmati golongan bawah dengan harga yang sesuai pula. Salah satu contohnya yang menurut saya beradaptasi adalah kaset CD audio. Bagi para pecinta musik batak tak harus mengeluarkan kocek dalam-dalam untuk menikmati musik dengan piringan CD kualitas original. Karena produsennya memang sengaja meratakan harga yang sesuai dengan kantong orang kelas bawah. Dengan demikian jarang kita jumpai lagi kaset CD lagu-lagu batak bajakan. Mengapa? Karena yang original saja harganya berkisar 10ribu sampai dengan 20ribu, konon lagi bajakannya?

Pun masyarakat konsumen sekarang sudah mulai cerdas tentunya. Walau tetap ada saingan bajakan untuk kaset tersebut dengan harga miring sedikit biasanya akan tetap memilih yang original. Karena perbedaan harga yang tipis maka perbandingan kualitas menjadi faktor utama pertimbangan membeli. Hal ini bertolak belakang dengan musik-musik pop dan genre lainnya di tanah air. Produsen biasanya menetapkan harga diatas 20ribu, mungkin sekitar 45ribu untuk kepingan CD musik. Wajar bila dengan harga dibawah 4 kali lipat masyarakat konsumen bawah lebih memilih untuk membeli yangbajakan, toh bisa di copy dan diperbaiki kualitas audionya lewat software-software yang mudah di download di internet.

Dengan demikian siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan? Bila saja produsen-produsen tersebut mau beradaptasi harga untuk konsumen kelas bawah mungkin hal ini takkan terjadi.

Sama halnya dengan parfum. Parfum yang dipakai orang kaya dengan harga permili-nya bisa mencapai puluhan bahkan ratusan ribu rupiah, kini sudah bisa dipakai dan dinikmati oleh masyarakat konsumen bawah dengan harga Cuma ribuan permili.

Padahal bila sistem penjamahan adaptasi harga mampu dilakukan produsen, mungkin istilah bajakan dan KW tidak ada lagi. Label tersebut bisa diganti dengan “versi ekonomis” misalnya. Jadi takkan ada yang dirugikan. Konsumen kelas bawah mungkin juga dengan senang hati membeli produk versi ekonomis tersebut dengan kualitas original yang tak perlu lagi diragukan. Hal ini berlaku juga untuk tas dan sepatu. Produsen hanya memikirkan bagaimana metode dan teknisnya dilapangan. Apakah memodifikasi bentuk tanpa mengurangi kualitasnya? Seperti salah satu produsen air mineral di Indonesia misalnya. Produsen tersebut mampu melihat pangsa pasar dengan dimensi yang berbeda dan penangan yang berbeda pula. Jadi peluang untuk produknya dibajak sangat kecil kemungkinan. Kita bisa menjumpai air kemasan tersebut di Diskotik-diskotik malam yang elit dengan kemasannya sedemikian rupa dan kita bisa pula menjumpai air kemasan tersebut di warung-warung kaki lima dengan harga dan bentuk yang disesuaikan tanpa mengurangi rasa dan kualitasnya.

Bagaimana dengan produsen musik, tas, sepatu, baju, elektronik dan lainnya? Bila tak juga mampu beradaptasi dengan bermacam lapisan konsumen pasar yang ada maka jangan heran pembajakan akan terus berlangsung. Penuntutan atas hak paten melalui mediasi hukum di media pun seperti tak berdampak bila proses pemasarannya memang belum beradaptasi dengan konsumen kelas bawah. Sebab apapun yang dituntut tanpa inovasi sentuhan pasar golongan bawah, maka pilihan bajakan dan KW akan tetap diminati. Karena produsen tidak memberi pilihan lain bagi masyarakat.

Dengan demikian, mau dia kaya atau miskin tetap sama-sama bisa menikmati produk yang sama persis dengan kualitas yang tipis. Prestise dengan barang mahal?? Hanya masalah legalitasnya saja yang belum mampu beradaptasi dan menyentuh konsumen bawah lainnya. Bagaimana jika legal memberdayakan cara dan teknik ilegal? Esensinya tetap saja legal, masalah lain selain kualitas biar konsumen yang menilai.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline