Revolusi Hijau adalah sebutan tidak resmi untuk menggambarkan perubahan mendasar dalam pemakaian teknologi budidaya pertanian pada tahun 1950-an hingga 1980-an di banyak Negara berkembang terutama di Asia. Revolusi Hijau diciptakan oleh Thomas Robert Malthus (1766-1834) karena adanya masalah kemiskinan yang tidak dapat dihindari. Revolusi Hijau dianggap menjadi jawaban permasalahan pangan dan kehancuran lahan pertanian eropa akibat Perang Dunia 1 dan Perang Dunia 2.
Konsep Revolusi Hijau di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (Bimbingan Masyarakat), yaitu program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras dalam konsep Pancausaha Tani. Adapun konsep pancausaha tani yaitu penggunaan bibit unggul, pupuk kimia, pengairan yang cukup, pemberantasan hama secara intensif, dan teknologi pertanian yang lebih teratur.
Gerakan ini mampu menjadikan Indonesia sebagai negara yang berswasembada beras, namun hanya bertahan dalam lima tahun, yakni antara tahun 1984-1989. Disamping keuntungan Revolusi Hijau yaitu munculnya tanaman unggul berumur pendek, peningkatan pendapatan petani karena paket teknologi pertanian yang menekan biaya produksi, dan sempat pula menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang meningkat di masyarakat, namun Revolusi Hijau juga mengakibatkan beberapa dampak buruk.
Dampak buruk Revolusi Hijau yang ditimbulkan khususnya di Indonesia dirasakan mulai tahun 1990-an, petani mulai kelimpungan menghadapi serangan hama, ketergantungan pemakaian pupuk yang meningkat dan penggunaan pestisida yang tidak lagi manjur justru menyebabkan tanah tidak lagi subur bahkan mengandung residu pestisida. Semua ancaman kehidupan pertanian tersebut telah merusak keseimbangan ekosistem dan lingkungan. Dampak lain yang ditimbulkan adalah berkembangnya individualisasi hak atas tanah, komersialisasi produk pertanian, dan kesenjangan sosial dan ekonomi karena harga tanah yang semakin mahal menyulitkan para petani kelas bawah dan hanya menguntungkan petani kaya.
Revolusi Hijau telah menjadikan beberapa negara yang tadinya kekurangan bahan pangan menjadi negara yang mampu mencukupi kebutuhan pangannya dan berhasil pula menghantarkan Indonesia pada swasembada beras. Namun keberhasilan revolusi hijau di Indonesia dapat dikatakan keberhasilan yang semu, sebab keberhasilan yang dicapai hanya bersifat sementara dan justru mengakibatkan banyak dampak negatif baik di bidang pertanian dan lingkungan maupun ancaman kesenjangan sosial dan ekonomi.
Maka dari itu diperlukan pembangunan lingkungan pertanian berkelanjutan, yang tidak hanya berusaha mencapai keberhasilan semu dengan berlandaskan lima unsur utama dalam pencapaian 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Suistanable Development Goals yang sering kita kenal dengan 5P yaitu People (manusia), Planet, Prosperity (kemakmuran), Peace (Perdamaian), Partnership (Kemitraan).
Pembangunan berkelanjutan di bidang pertanian memperhatikan kesehatan dari para pekerja di bidang pertanian, khususnya petani. Kemudian turut meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran sumber daya manusia, tanpa merusak kelestarian lingkungan dan tetap menjamin keamanan dan kenyamanan serta keadilan dalam lingkungan kerja.
Pembangunan berkelanjutan di bidang pertanian yang tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan ekosistem tidak hanya mengejar keberhasilan semu namun juga memperhatikan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan dalam jangka panjang sehingga akan meningkatkan produktifitas tanaman, yang dapat kita rasakan keberhasilannya hingga di masa yang akan datang oleh generasi selanjutnya.
Daftar Pustaka
Tunggul, Asgar Najoan, Meity, Dasfordate, Aksilas. 2013. Revolusi Hijau dan Petumbuhan Ekonomi Terhadap Perekenomian Indonesia pada Era Orde Baru. Manado : Social Science Journal. Vol 1, No.1. Diperoleh pada tanggal 30 Oktober 2017 dari http://id.portalgaruda.org/?ref=browse&mod=viewarticle&article=99603#
Indonesian Youth 4 SDGs, 2017. Lima Unsur Utama dalam Pencapaian SDGs. Diperoleh dari pada tanggal 3 November 2017 dari file:///D:/IndonesianYouth4SDGs/Week%203%2030oct-4nov17/5P%20dalam%20SDGS.pdf