Lihat ke Halaman Asli

Sekolahkan Anak atau Tidak?

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13934830191201530936

[caption id="attachment_325004" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption]

"Waduh de, bisa masalah tulang belakangmu? Kamu disuruh pakai tas tarik yang beroda ngk mau. Kamu kan masih 8 tahun, jangan dulu berat-berat tasnya".

Setiap hari lihat anak-anak ini ke sekolah dengan tas berat. Kelihatannya  mahasiswapun tidak pernah bawa tas seberat ini. Rasanya mau sekolahkan ditempat lain yang masih memberikan waktu untuk kreativitas dan  kepentingan perkembangan jiwa anak, sekolah yang tidak menjadikan 'nilai' sebagai patokan keberhasilan ... tapi dimana? Mau bikin sendiri bisa diakui tidak? Masyarakat juga sudah masuk dalam sistem yang sama.  Semua dinilai dari angka. Prestasi difinisinya  juara kelas. Obrolan orang tua juga tidak jauh-jauh dari rangking. Anak yang dapat ranking membanggakan orang tua sebagai bahan cerita. Anak pulang sore, Les sana les sini demi mencapai cita-cita (Cita-cita anak atau orang tua?).

Seorang ibu dengan muka capek lebih memilih menjauh dari kumpulan ibu-ibu lain demi terhindar dari percakapan 'prestasi' anak. Anak ibu itu sendiri ceria dan tidak memiliki beban. Kegiatan olah raga dan penguasaan bidang olah raga yang diajarkan luar biasa tapi prestasi terancam tidak naik kelas.  Lebih banyak nilai anaknya jauh dari KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Dulu yang penting diatas 5 pasti naik kelas. Sekarang meskipun dapat nilai 70 tapi KKMnya 72 maka terancam tidak bisa naik kelas. Bisa dimaklumi apa yang menyebabkan ibu itu galau. Sama dengan ibu yang satu yang tidak suka kumpul sekarang. Anak perempuannya juga tidak membanggakan dari segi pencapaian nilai.... Anak semata wayangnya antusias dan menguasai dengan cepat untuk gerakkan tari detail dan indah tapi mengenai menghafal kalimat...sulitnya minta ampun.

Sementara bakat menari sekuat apapun tidak bisa meluluskan anaknya. Demikian juga dengan teman  sekelas anak saya, agak takut setiap kesekolah karena  beberapa kali ditegur tidak selesaikan PR. Padahal teman anak saya ini bakat lukisannya sudah terlihat dari TK mengaggumkan. Tapi mau bagus sebagaimanapun lukisannya.... apakah bisa naik kelas? Kadang galaunya ibu-ibu ini hanya ditanggapi dingin sama bapak-bapaknya. “saya sudah seharian dikantor...itu urusanmu” gitu barangkali respon berwibawa seorang ka. keluarga.

Sementara itu Programme for International Study Assessment (PISA) 2012 menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan peringkat terendah dalam pencapaian mutu pendidikan. Pemeringkatan tersebut dapat dilihat dari skor yang dicapai pelajar usia 15 tahun dalam kemampuan membaca, matematika, dan sains.

Selama mengikuti studi tersebut sejak 2000, Indonesia selalu berada pada salah satu peringkat rendah,walah.

Apakah 'pencapaian nilai akademik' menjamin masa depan seorang anak untuk mandiri dan berprestasi dalam lingkungan kehidupan yang begitu ketat persaingan dan membutuhkan kreativitas yang tinggi. Apakah moral dan etikanya terjamin dengan standard kelulusan yang tinggi? Bukankah karakter sangat penting?

Walah, kenapa tiba-tiba terbayang muka Tukul dan Sule ya... Apakah mereka juara kelas dulu ya?

Dulu rampok dan kejahatan selalu disejajarkan dengan pengangguran, tingkat pendidikan dan moral keagamaannya. Sekarang tidak dapat dilihat seperti itu lagi. Pelaku kejahatan ada dari tokoh agama, perampok bergelar professor hukum dan koruptor adalah aparat yang memiliki pengetahuan dan latar belakang akademik memukau.

Kadang ditengah tongkrongan anak-anak SD yang begitu belia dan sulit mengerjakan tugas bahasa Inggris,bisa surpirse ketika mendengar mereka bisa menyanyikan semua bait dan melafalkan dengan baik syair lagu pop barat disetel. Jangan-jangan sistem pengajaran kita juga sudah ketinggalan. Bisa jadi karena era analog telah ketinggalan masuk pada era digitalisasi dimana sentuhan jari dengan mudah proses terpampang didepan mata.

Lambaian tangan anak saya membuyarkan lamunan. Hujan membuat dia tergesa-gesa  lari ke dalam sekolah sambil pegangi tasnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline