Di FB komentar saya tentang sidang DPR tentang Pilkada tidak langsung, dikomentari kubu berseberangan agar legowo sebagaimana hasil Pilpres disuruh legowo. Saran yang tidak nyambung, ini bukan siapa kalah siapa menang tapi tentang hak saya dan hak seluruh rakyat menentukan pimpinannya telah dihapuskan. Tapi karena account abal-abal buat apa ditanggapi. Tapi substansi komentar pasti menjadi landasan berpikir kubu yang berseberanga.
Komentar lainnya adalah bahwa PDIP partai korup. Sama juga tidak nyambung. Apa hubungannya PDIP dengan keputusan DPR tentang PILKADA ini?. Justru dengan dialihkan ke DPRD maka otomatis rakyat harus 'masuk' ke partai artinya dengan pemilihan oleh DPRD maka partai yang kita pilihlah yang akan menentukan pemimpin bukan kita. Justru pemilihan langsung, kita tidak akan ' teribat' dalam partai jika tidak menghendakinya. Gampang, tidak usah teribat dalam PILEG. Dengan memilih GERINDRA dalam PILEG kemarin maka saya selaku konstituen merasa dikhianati.
Bukankah tugas DPRD adalah pengawasan dan legislasi? Dengan tugas tersebut saja ada banyak hal yang dilanggar dan tidak dilaksanakan dengan purna. Bagaimana nantinya jika harus ditambah dengan tugas pemilihan eksekutif. Dengan tugas yang ada saja berbagai masalah konflik kepentingan terjadi, apalagi untuk urusan kepentingan jabatan.
KMP (Koalisi Merah Putih) menyebabkan demokrasi sakit menurut saya karena segala sesuatu dilakukan berdasarkan kepentingan koalisi semata. Ini terbukti pemilihan langsung yang mereka agungkan sebelumnya, dikangkangi. Dengan menyadari kekuatan mereka dihampir semua propinsi maka segala upaya melestarikan kepentingan mereka dilakukan dimulai dengan merecoki sistem yang telah berlaku selama ini dan yang mereka juga bahagia dalam mempraktekkannya. Tiba-tiba dikatakan sebaliknya, maka dapat diketahuilah bahwa kepentingan merekalah diatas segalanya. Tidak tendensius jika diartikan bahwa memang ini direncanakan sebagai langkah awal untuk tujuan besar, pemilihan Presiden dikembalikan ke DPR. Kalau Pilkada berhasil, dengan keberhasilan itupulahlah mereka akan mengusung ke rencana pengubahan sistem yang lebih besar! Nafsu sudah terihat dan politik 'muka manis' semakin berlangsung.
Alasan tentang pertikaian horisontal, tidaklah menjamin. Melalui DPRD juga hal yang sama dapat terjadi karena partai sangat identik dengan pengerahan massa. Pertikaian tidak ada relasinya dengan sistem. Pertikaian korelasinya pada aturan dan penegakkan hukum yang adil dan transparan. Karena sistem apa saja pasti beresiko untuk itu harus ada manajemen resiko dan pemberlakukan aturan dan pelaksanaan yang meminimalkan resiko.
Biaya, sama sekali tidak dapat dijadikan pembenaran. Jika biaya tinggi maka Pilkada langsung dapat diatasi dengan kelengkapan aturan dan penggunaan peralatan tehnologi yang sudah semakin maju. Meskipun sebenarnya biaya bukanlah masalah untuk pesta rakyat. Bukankah dipergunakan untuk kepentingan rakyat? Kalau dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat, kenapa harus dijadikan alasan.
September 1965 tanggal 30 September - 1 Oktober terjadi gerakan penghianatan. 49 tahun kemudian 2014 tanggal 25 September - 26 September terjadi penghianatan resmi terhadap hak-hak rakyat oleh barisan yang bernama wakil rakyat yang telah dipilih mewakili rakyat. Tidak berlebihan ini disebut gerakan bahkan militansi gerakan ini sedemikian kuat sehingga untuk kepentingan sidang ini, kehadiran diwajibkan bahkan dijemput! Tidak hadir diberi sanksi. Sementara untuk hal lainnya, plesiran dan tidur adalah pilihan mereka. Memang tidak semua wakil berkhianat. Sebagian besar dari mereka telah menjadi penjaja nurani dan berhak disebutkan sebagai anggota G 26 S - Pembunuhan Kebebasan Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H