Lihat ke Halaman Asli

Seorang Pemanah yang Bijakkah Saya..?

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13008042881943234577

[caption id="attachment_97611" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (shutterstock)"][/caption] Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri Mereka dilahirkan melalui engkau tetapi bukan darimu Meskipun mereka ada bersamamu tetapi mereka bukan milikmu Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tetapi bukan pikiranmu Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh mereka, tetapi bukan jiwa mereka Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok, yang tak pernah dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpi Engkau bisa menjadi seperti mereka, tetapi jangan coba menjadikan mereka sepertimu Karena hidup tidak berjalan mundur dan tidak pula berada di masa lalu Engkau adalah busur-busur tempat anakmu menjadi anak-anak panah yang hidup diluncurkan Sang pemanah telah membidik arah keabadian, dan ia merenggangkanmu dengan kekuatannya, sehingga anak-anak panah itu dapat meluncur dengan cepat dan jauh Jadikanlah tarikan tangan sang pemanah itu sebagai kegembiraan Sebab ketika ia mencintai anak-anak panah yang terbang, maka ia juga mencintai busur teguh yang telah meluncurkannya dengan penuh kekuatan ( Cinta, Keindahan, Kesunyian...   Khalil Gibran)

13007987091629480807

Beberapa hari ini perasaan saya tak enak, karena ada masalah di pikiran, saya jadi banyak diam dan merenung. Saya banyak sekali melakukan dialog dengan hati dan pikiran saya sendiri.  Ada banyak sekali pertanyaan yang ada dibenak saya ketika saya melakukan aksi diam itu. Sebenarnya masalah ini banyak yang mengalaminya dan sering kali terjadi pada semua orang yang telah menikah dan menjadi orang tua bagi anak-anaknya. Saya dan suami akhir-akhir ini sering tak sepakat menghadapi masalah yang berkaitan dengan putra saya. Kadang saya protes dengan sikap suami yang terlalu menginginkan semua serba perfect- sempurna sesuai dengan kehendak beliau mengenai prilaku pada putranya. Kesalahan sedikit dan pelanggaran peraturan sedikit saja yang dilakukan oleh putra saya membuat beliau harus mengeluarkan nasehat panjang lebarnya,  yang kadang tak dimengerti oleh putra saya yang masih anak-anak. Impian dan harapan beliau, adalah impian yang harus digapai oleh putranya, saya sampai ektrim menilainya seperti itu. Ujung-ujungnya putra saya jadi cengeng, menangislah secara sembunyi pada saya. Sampai secara tak sengaja, suatu siang saya menemukan koleksi buku lama dari suami dan membacanya, saya terdiam, termenung sampai kesadaran dihati saya muncul. Sebuah buku karya besar dari Kahlil Gibran, begitu dalam dan indah maknanya sehingga membuat hati saya tergugah pada makna dan ungkapan yang dituliskannya dibuku itu.  Saat itu hati saya jadi tenang, terbuka dan mulai sedikit mengerti dan berkompromi. Ketika putra pertama saya lahir, ada banyak mimpi-mimpi dan harapan yang besar yang kami tujukan pada anak kami, dan menurut saya itu wajar saja, ini timbul dari pikiran semua orang tua pasti, apalagi orang tua baru seperti kami. Saat itu selalu kami bisikan dengan lembut ditelinga anak saya " Sayang jadilah anak yang pandai kelak, sesuai dengan harapan dan impian orang tuamu, kau harus begini-begitu, jadi ini-itu ...". Begitulah seterusnya sampai saat ini ketika putra saya sudah besar, sampai dia sudah mampu menunjukan perlawanannya,  protesnya terhadap hal-hal yang dia inginkan sendiri, terhadap pilihan yang ia kehendaki. Hari itu saya membaca dan merenungkan dalam-dalam makna dari tulisan Khalil Gibran itu. Apa yang ditulis oleh Khalil Gibran ternyata dapat saya pahami dan  saya ingin menjadikan pedoman bagi saya untuk menjadi seorang Ibu yang lebih baik bagi putra saya, bahwa anak  saya memiliki mimpinya dan harapannya sendiri. Saya tak boleh memaksakan keinginan dan impian saya pada anak kami, apalagi untuk sebuah cita-cita dari kami pribadi yang tak sempat kami raih, dan harus saya bebankan semua harapan itu pada anak saya...sungguh saya tak bijaksana dan sangat naif sekali jika itu terjadi. Saya tak mau mencuri apalagi sampai membunuh hal-hal yang paling berharga dalam hidup anak saya . Saya percaya, bahwa setiap individu anak memiliki sendiri impiannya, keinginannya dan harapannya nanti. Kita sebagai orang tua hanya punya kewajiban untuk mendoakan dan mendorong agar impian itu terwujud. Membimbing anak-anak kita dengan penuh kegembiraan dan keikhlasan karena mereka adalah amanah NYA, kita diberi kepercayaanNYA untuk menjaga, mendidik dan membimbing, melindungi dan menyanyangi...tanpa paksaan dan kekerasan. Dan harapan saya semoga saya dan suami tersadarkan diri untuk semuanya ini. Karena saya tak mau kecewa jika nantinya impian kita tak tercapai sesuai dengan pengharapan kita sebagai orang tua yang selalu berpikir bahwa anak-anak kita harus selalu mengikuti apa keinginan kita. Khalil Gibran benar... Orang tua ibarat sang pemanah dan busur panah adalah anak-anak kita. Bahwa anak-anak kita adalah anak-anak kehidupan, yang memiliki pikiran sendiri dan jiwa sendiri, meskipun lahir dari rahimku tapi dia bukanlah diriku dan bukan milikku. Semoga kita bisa menjadi pemanah yang bijak, penuh kegembiraan dan keikhlasan dalam membidik busur panah kita...Subahanallah. Semoga yang simple ini bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline