Kehidupan kita kini tidak pernah lepas dari smartphone, dunia maya (internet) dan media sosial. Pengguna smartphone di Indonesia semakin meningkat. Hingga bulan Maret lalu, Kemkominfo mencatat tak kurang dari 351,6 juta pengguna kartu prabayar yang melakukan registrasi ulang. Jumlah itu diluar jumlah pengguna kartu pascabayar yang memang tidak mendaftar ulang karena data pengguna otomatis sudah ada di operator saat mereka mendaftar. Ini berarti jumlah tersebut melebihi jumlah penduduk Indonesia.
Namun tahukah anda, menurut UNESCO, minat baca orang Indonesia sangat rendah. Indonesia berada di urutan ke-2 dari bawah dalam hal keliterasian dunia. Yang menarik, meski minat baca rendah, tapi dalam hal 'kecerewetan' di media sosial, penduduk Indonesia berada di urutan ke-5 sebagai negara paling cerewet di dunia. Sedangkan Jakarta adalah kota paling cerewet di dunia maya karena setiap detik ada 15 tweet (versi Twiter, belum termasuk versi platform media sosial lainnya seperti Facebook, Instagram, dll).
Mudah terprovokasi hoax
Dari data dan fakta diatas, bisa dibayangkan: tidak suka baca tapi bisa jadi penduduk paling cerewet? Maka jangan heran jika negara kita menjadi konsumen yang empuk untuk info provokasi, hoax dan fitnah. Fenomena ini sudah terjadi saat Pilpres 2014 dan Pilgub DKI 2017 lalu. Kini, memasuki tahun politik 2018 -- 2019 apakah kita perlu mengkhawatirkan kegaduhan di dunia maya lagi?.
Menurut jajak pendapat Kompas yang diterbitkan 16 April lalu, sebanyak 81% responden menyatakan kekhawatiran ujaran kebencian di media sosial akan memecah belah masyarakat. Minat baca yang rendah membuat masyarakat mudah percaya dan menerima berita yang mereka baca di media sosial tanpa mengecek sumber dan kebenaran informasi. Lebih gawatnya lagi, informasi yang belum tentu benar tersebut lalu mereka bagikan kepada khalayak yang lebih luas melalui Whatssapp group, dan platform media sosial lainnya.
Menurut jajak pendapat Kompas tsb, kemampuan untuk menyaring informasi dianggap sebagai persoalan besar bagi sebagian masyarakat. Hampir separuh responden berpendapat bahwa sebagian pengguna media sosial cenderung belum punya kemampuan untuk membedakan antara informasi yang benar dan berita bohong. Tentunya hal ini sangat mengkhawatirkan. Menurut survey yang dilakukan oleh salah satu Perguruan Tinggi Islam Negeri di Jakarta pada November lalu, sebanyak 54,87% responden mengatakan mencari pengetahuan agama dari internet dan media sosial.
Survey dilakukan di 34 propinsi terhadap 1522 siswa dan 337 mahasiswa. Yang memprihatinkan adalah, sebanyak 58,5% responden memiliki pandangan keagamaan pada opini yang radikal. Kalangan TNI mewaspadai fenomena kegaduhan di dunia maya ini sebagai salah satu bentuk cyber war(perang cyber) yaitu pencucian otak melalui media sosial. Di tahun politik ini tentunya isu yang dilempar adalah isu-isu yang berpotensi menciptakan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah ataupun isu-isu mengenai kampanye hitam lawan politik di ajang Pilkada, Pileg dan Pilpres.
Dampak hoax bagi generasi muda.
Yang harus lebih diwaspadai adalah dampak hoax ini terhadap generasi muda khususnya anak-anak Generasi Z yang sejak lahir sudah kenal internet. Generasi Z adalah anak-anak yang lahir tahun 1995 – 2012. Mereka adalah generasi muda yang memiliki resiko tinggi terpapar konten-konten hoax di media sosial. Data Kementrian
Kominfo RI, di akhir tahun 2016 ada 800 ribu situs yang terindikasi menyebarkan hoax (berita bohong) dan hate speech (ujaran kebencian). Beberapa pelaku penyebaran hoax yang berhasil ditangkap polisi ternyata masih berstatus pelajar. Hal ini sangat memprihatinkan. Remaja rentan jadi penyebar berita hoax, karena disamping minat baca rendah, remaja cenderung emosional.
Terkait dengan perilaku, saat ini bahkan sudah mulai terjadi anak-anak usia sekolah dasar yang tidak menghormati teman-temannya yang berbeda agama atauberbeda suku di sekolah, akibat membaca konten kampanye hitam di media sosial
yang berbau SARA. Atau bahkan ada anak yang ikut-ikutan melakukan hate speech,meniru apa yang dibaca di media sosial. Mereka juga mendapat pemahaman yang salah mengenai pendidikan agama. Semuanya ini mengarah pada perpecahan dan intoleransi. Dampak negatif hoax, hate speech, isu provokatif dan fitnah di media sosial ini bisa kita cegah. Anak-anak berhak atas informasi yang sehat dan benar. Pemerintah tentunya tidak tinggal diam. Beberapa waktu lalu POLRI bahkan telah menangkap dan memproses hukum 2 komunitas penyebar hate speech dan hoax. Komunitas tersebut menggunggah konten berupa meme yang berisi ujaran kebencian dan menyinggung suku, agama, ras, dan golongan tertentu. Konten-konten yang disebarkan meliputi isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia, penculikan ulama,
dan mencemarkan nama baik presiden, pemerintah, hingga tokoh-tokoh tertentu.
Langkah yang dilakukan POLRI dalam menangkap komunitas ini dimaksudkan untuk menegakkan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Langkah tegas ini mendapatkan apresiasi dan diyakini masyarakat akan memberikan efek jera
dan mengurangi penyebaran hoax. TNI dan POLRI terus secara aktif melakukan patroli cyber menjelang Pilkada serentak yang akan digelar 27 Juni 2018 ini, dan juga dalam menghadapi Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden tahun 2019 yang akan datang.
Sebagai warga masyarakat kita harus turut serta berperan aktif menjaga situasi dan kondisi bangsa kita dengan mencegah generasi muda untuk tidak mudah terpengaruh dan terprovokasi dengan hate speech dan hoax. Media sosial yang dekat
dengan generasi muda dan anak-anak tak bisa dipisahkan sebagai sumber informasi. Sehingga tantangan utama bagi orang tua adalah mengajarkan anak-anak dan remaja untuk selalu kritis dengan informasi yang mereka terima. Hal ini penting untuk melatih anak mencerna informasi yang sehat. Ajari anak-anak untuk tidak mudah percaya dengan informasi yang mereka terima di media sosial dan untuk selalu
tabayyun - mencari kebenaran berita / informasi yang dibaca. Caranya adalah dengan
cek kebenarannya dengan membaca sumber beritanya, lalu bandingkan dengan 3 situs
berita online lain apakah memuat informasi yang sama. Bila menemukan berita hoax, bisa langsung melaporkan. Kini banyak saluran untuk melaporkan hoax.
Semua pihak perlu mendukung pemerintah mengatasi persoalan hoax dengan membantu memberi pemahaman pada generasi muda tentang penggunaan media sosial yang positif, bijaksana dan bertanggung jawab. Ingat, mereka adalah generasi penerus bangsa yang akan meggerakan roda pemerintahan dan perekonomian negara ini 10-30 tahun kedepan. Kewajiban dan tanggung jawab kitalah untuk menyiapkan
mereka menjadi sumber daya manusia yang berkualitas dan berahlak mulia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H