Sejak Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan diadopsi pada tahun 1979 oleh PBB dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dalam UU No.7/1984, sudah banyak sekali kebijakan pemerintah terkait dengan pemenuhan hak-hak perempuan atau kesetaraan gender. Semuanya bertujuan untuk menegaskan akses kesetaraan dan kesempatan perempuan terhadap kehidupan politik dan publik serta pendidikan, kesehatan dan ketenagakerjaan.
Kesetaraan hak tersebut, selain merupakan kepentingan bagi kaum perempuan, tanpa disadari juga sangat berdampak bagi pemenuhan hak anak. Oleh karenanya, diskriminasi terhadap perempuan sangat merugikan tidak hanya pada kaum perempuan itu sendiri, tapi juga pada generasi penerus. Kenyataan praktisnya adalah bahwa perempuan menanggung beban utama membesarkan anak di hampir setiap negara di dunia saat ini. Akibatnya, ketika hak perempuan dilanggar atau berisiko dilanggar, situasi ini menempatkan anak-anak pada risiko yang lebih besar.
Selain itu, ketika perempuan tidak dapat membela diri mereka sendiri, anak-anak akan kehilangan figur yang memperjuangkan kepentingan mereka. Sebaliknya, ketika perempuan dapat sepenuhnya menggunakan hak mereka, maka mereka berada dalam posisi yang lebih baik untuk melindungi dan memenuhi hak-hak anak mereka. Dewasa ini, perempuan tidak hanya melakukan sebagian besar pekerjaan dalam merawat anak-anak, tapi umumnya juga melakukan sebagian besar pekerjaan di negara berkembang.
Oleh karena itu, ketika perempuan dikenai diskriminasi sosial dan ekonomi, mereka mungkin dibatasi dari pekerjaan atau kesempatan pendidikan tertentu, yang seharusnya memungkinkan mereka untuk memberi lebih banyak pada keluarga mereka. Selain itu, ketika hak perempuan ditekan, dampaknya dirasakan oleh semua generasi, terutama oleh anak-anak perempuan yang akan lebih berisiko terhadap berbagai bentuk pelecehan dan eksploitasi karena perkembangan fisik atau mental mereka yang rentan.
Perempuan sekarang bisa mendapatkan pendidikan tinggi; dapat berpartisipasi dalam kehidupan politik, ekonomi, pemerintahan, dll. Sayangnya, kita sekarang menghadapi masalah lain dimana wanita memprioritaskan karir mereka lebih dari pada prioritas terhadap anak-anak mereka. Menurut sebuah penelitian, ibu yang kembali bekerja setelah bayi mereka terlahir berisiko menyebabkan kerusakan serius pada prospek anak di kemudian hari.
Anak-anak seperti itu cenderung lebih buruk di sekolah, menjadi pengangguran dan menderita tekanan mental daripada anak-anak yang ibunya tinggal di rumah untuk membesarkan mereka. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa ketidakhadiran ayah tidak banyak berpengaruh pada keberhasilan pendidikan anak.
Ditemukan bahwa anak-anak berusia antara satu dan lima tahun, yang ibunya bekerja dalam jangka waktu panjang, cenderung memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah, risiko pengangguran lebih besar sebagai orang dewasa, dan risiko tekanan psikologis yang lebih besar. Saat ini ada banyak kasus anak-anak yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya hak anak untuk mendapat perhatian, pengawasan dan kasih sayang dari orang tua. Anak-anak terlibat dalam tawuran, kecanduan narkoba, kecanduan pornografi, jatuh dalam hubungan seks bebas - yang disebabkan oleh ibu bekerja yang menghabiskan waktu di luar rumah dan mengabaikan tugas mereka dalam memberikan perhatian dan pengawasan kepada anak.
Fakta ini seharusnya membuat perempuan menyadari bahwa tugas utama mereka secara kodrati adalah menjadi pendidik dan pengasuh utama anak-anak mereka. Perjuangan R.A Kartini untuk memberikan pendidikan bagi kaum perempuan semata-mata bukan agar perempuan berkompetisi dengan laki-laki, namun bagi perempuan agar cakap dalam mendidik anak mereka. Kewajiban perempuan dalam memenuhi hak anak lebih mulia daripada memenuhi ambisi mereka untuk berkarier di luar rumah.
Dengan memenuhi hak anak-anak, perempuan menjalankan tanggung jawab mereka terhadap bangsa dalam rangka mempersiapkan anak-anak mereka menjadi generasi penerus bangsa yang tagngguh dan menjadi pemimpin di masa depan. Apalagi Indonesia dihadapkan dengan bonus demografi dalam 10-20 tahun ke depan. Bonus demografi tersebut akan menjadi bencana jika perempuan tidak mempersiapkan anak mereka dengan pendidikan moral yang cukup.
Tantangan yang dihadapi oleh Generasi Z (lahir setelah 1995) cukup besar karena mereka terlahir di mana teknologi digital semakin canggih dan arus informasi globalisasi tak terbendung. lagi. Pendidikan akademis di sekolah tidaklah cukup untuk mempersiapkan generasi penerus yang harus dibekali pendidikan moral yang tinggi dan mental yang kuat agar tidak mudah terpengaruh oleh dampak negatif lingkungan dan globalisasi. Ada ungkapan bijak bahwa, jika Anda ingin menghancurkan peradaban suatu bangsa, hancurkan struktur keluarga dengan merendahkan peran seorang ibu, sehingga para ibu merasa malu menjadi ibu rumah tangga yang sepenuh waktu membesarkan dan mendidik anak-anak mereka.
Tentu saja argumen ini tidak lantas menghalangi perempuan untuk berpartisipasi dalam ekonomi atau politik -- asal mereka tidak melupakan tugas mulia mereka sebagai seorang ibu yang menjadi sekolah pertama anak-anak. Seyogyanya, apabila hak perempuan dan anak dipertimbangkan bersama, mereka dapat saling melengkapi dan mendukung.