Lihat ke Halaman Asli

Jeanne Noveline Tedja

Founder & CEO Rumah Pemberdayaan

Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tulisan ini terinspirasi dari maraknya berita mengenai penangkapan pelaku begal yang masih berstatus pelajar akhir-akhir ini. Tindak pidana yang mereka lakukan menyebabkan mereka bersentuhan dengan hukum. Pertanyaan yang timbul kemudian adalah bagaimana proses hukum yang akan mereka jalani, mengingat usia mereka yang masih dikategorikan sebagai anak-anak.

Dalam sistem peradilan pidana anak (UU No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak), pelaku tindak kriminal yang masih berusia dibawah 18 tahun disebut ABH atau Anak Berhadapan dengan Hukum. Secara konseptual anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict with the law),dimaknai sebagai seseorang yang berusia di bawah 18 tahun yang berhadapan dengan sistem peradilan pidana dikarenakan yang bersangkutan disangka atau dituduh melakukan tindak pidana. Persinggungan dengan sistem peradilan pidana menjadi titik permulaan anak berhadapan dengan hukum. Istilah sistem peradilan pidana menggambarkan suatu proses hukum yang diterapkan pada seseorang yang melakukan tindak pidana atau melanggar kesesuaian hukum pidana. Dengan demikian istilah sistem peradilan pidana anak dipergunakan untuk menggambarkan sistem peradilan pidana yang dikonstruksikan pada anak.

Terkait upaya memberikan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, sistem peradilan pidana anak harus dimaknai secara luas, mencakup akar permasalahan mengapa anak melakukan perbuatan pidana dan upaya pencegahannya. Lebih jauh, ruang lingkup sistem peradilan pidana anak mencakup banyak ragam dan kompleksitas isu mulai dari anak melakukan kontak pertama dengan polisi, proses peradilan, kondisi tahanan, dan reintegrasi sosial.

Anak adalah warga negara yang harus dilindungi karena mereka adalah generasi masa depan bangsa. Sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak PBB yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam UU No. 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang kesemuanya mengemukakan prinsip-prinsip umum pemenuhan hak anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, serta menghargai partisipasi anak.

Oleh karena itu dibutuhkan suatu cara dan prosedur di dalam sistem yang dapat mengakomodasi penyelesaian perkara yaitu dengan menggunakan pendekatan restorative justice. Restorative justice (dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai keadilan restoratif atau keadilan yang memulihkan) adalah diskursus baru dalam sistem hukum Indonesia yang menawarkan solusi yang komprehensif dalam menangani permasalahan ABH. Restorative justice merupakan alternatif penyelesaian perkara dimana semua komponen yang terkait dengan perkara yang melibatkan anak untuk duduk bersama guna merumuskan secara kolektif cara mengatasi konsekuensi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak dan implikasinya di masa mendatang. Pendekatan ini menekankan akan adanya kebutuhan dan pentingnya melakukan reintegrasi anak yang telah berhadapan dengan hukum. Penyelesaian perkara dengan mekanisme Restorative justice lebih bersifat informal dan personal dan pada umumnya dilaksanakan dengan melakukan mediasi melalui komunitas secara kekeluargaan. Pada kasus-kasus dimana ABH dianggap perlu menjalani proses hukum secara formal, keputusan yang diambil dapat berupa penangguhan penahanan, anak dikembalikan kepada orang tua, pidana bersyarat, pidana percobaan, atau penempatan anak dalam lembaga (panti sosial).

Mewujudkan kesejahteraan anak, selain menegakkan keadilan, merupakan tugas pokok badan peradilan menurut undang-undang. Orientasi pengadilan bukan mengutamakan pemidanaan tetapi harus memberikan perlindungan bagi masa depan anak. Peradilan pidana anak hendaknya memberi pengayoman, bimbingan, dan pendidikan melalui putusan yang dijatuhkan. Aspek perlindungan anak dalam peradilan pidana anak ditinjau dari segi psikologis bertujuan agar anak terhindar dari kekerasan, ketelantaran, penganiayaan, tertekan, perlakuan tidak senonoh, dan untuk memastikan agar anak tetap mendapatkan hak-haknya. Kesejahteraan anak harus diupayakan secara serius oleh semua pihaksehingga perlu adanya sinergitas antara lembaga-lembaga yang terkait baik penegak hukum maupun lembaga pemerintah termasuk tokoh masyarakat dalam menyelesaikan kasus ABH. (Ref: Laporan Kajian ABH di DKI Jakarta, 2014).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline