Lihat ke Halaman Asli

jeannerose

Pelajar

Di Ujung Waktu

Diperbarui: 24 November 2024   08:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah desa kecil di pinggiran kota, rumah kayu sederhana milik Arif berdiri di tengah hamparan sawah yang luas. Di luar, kehidupan berjalan perlahan, namun bagi Arif, setiap detik adalah perjuangan yang tak kenal lelah. Sejak istrinya, Laila, meninggal saat melahirkan anak mereka yang pertama, Arif terus berjuang sendirian untuk merawat putri kecilnya, Siska. Setiap hari, ia bangun sebelum fajar, bekerja keras di sawah, lalu melanjutkan pekerjaan di rumah untuk memastikan Siska mendapat makan dan perhatian yang cukup. Tak ada lagi tawa Laila yang dulu selalu menyemangati mereka, hanya ada kesunyian yang menemani setiap langkah Arif.

Kini, Siska sudah berusia lima tahun, rambut hitamnya yang lebat selalu terikat rapi, matanya yang bulat dan cerah mencerminkan keceriaan yang tak pernah pudar meskipun ia tumbuh tanpa ibu. Setiap kali Arif melihat senyum Siska, ia merasa semangatnya kembali terbangun, meskipun tubuhnya semakin lemah. Penyakit kronis yang mulai menggerogoti tubuhnya tak bisa disembunyikan lagi. Kadang, napasnya sesak dan jantungnya berdebar kencang setelah bekerja terlalu keras. Tetapi, demi Siska, ia tak mau menyerah.

Pada suatu sore, setelah selesai bekerja di sawah, Arif duduk di kursi kayu yang usang di belakang rumah. Siska duduk di pangkuannya, menggambar di atas kertas dengan crayon berwarna-warni Arif menatap kosong ke langit, matahari mulai terbenam, memancarkan cahaya oranye yang lembut. Siska, yang sedang asyik dengan gambarnya, mendongak dan bertanya dengan polos.

"Ayah, kenapa wajah Ayah kelihatan capek banget?" Siska bertanya, matanya memancarkan kekhawatiran meskipun usianya masih sangat muda.

Arif tersenyum lemah, mencoba menutupi rasa sakit di dalam dirinya. "Ah, nggak papa, Nak. Ayah cuma capek kerja, nanti juga hilang."

Siska mengerutkan dahi, tak sepenuhnya yakin dengan jawaban ayahnya . "Tapi Ayah, kok napas Ayah susah banget?" tanya Siska lagi, matanya menatap cemas ke arah wajah Arif yang mulai pucat.

Arif terdiam sejenak. Ia tahu Siska mulai merasakan sesuatu yang tak beres, tetapi ia tak ingin anaknya terbebani. Ia mengelus kepala Siska dengan lembut, mencoba menyembunyikan rasa sakitnya.

"Ayah cuma capek, sayang. Besok kita ke sawah lagi, ya? Kita panen bareng-bareng," jawab Arif dengan senyum tipis, mencoba mengganti topik.

Siska menggambar lagi, tetapi kali ini ia tampak lebih fokus, seperti sedang memikirkan sesuatu yang lebih dalam. Tiba-tiba, ia menatap Arif dengan tatapan serius yang jarang sekali terlihat pada anak seusianya.

"Ayah," Siska berkata pelan, "kapan Ayah bisa main sama Siska lagi? Kayak dulu, waktu Mama masih ada. Dulu Ayah bisa ngajarin Siska main bola, lari-lari di halaman..."

Arif terhenyak mendengar kata-kata Siska. Memori indah tentang masa lalu, ketika Laila masih ada, kembali hadir begitu saja. Mereka sering bermain bersama, tertawa, dan merencanakan masa depan. Tapi sekarang, hanya ia yang tinggal, memikul semua beban seorang diri. Dan tak ada lagi Laila di sampingnya untuk berbagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline