Kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh profesor cukup sering terjadi meskipun yang dilaporkan dan diproses secara hukum hanya beberapa. Ini mengungkapkan seberapa lemah pengawasan dan moral etika yang dimiliki profesor untuk mengutamakan tugasnya sebagai guru besar dan dosen dibandingkan dengan hawa nafsunya.
Pendidikan merupakan fondasi dan hal dasar penting untuk dimiliki semua orang, tanpa terkecuali. Profesor dan dosen menjadi sumber dan kunci dari pendidikan. Namun apa yang akan terjadi bila ternyata sumber ini yang malah melakukan tindakan yang kurang baik dan senonoh?
Terdapat 2 kasus pelecehan seksual yang telah telah terbukti terjadi yang dilakukan oleh Profesor B dari UHO Kendari dan seorang dosen lain dari universitas yang sama. Kedua kasus ini membuat kita sadar bagaimana kondisi dalam dunia pendidikan ini yang sering menjadi ajang terjadinya kecurangan dengan memanfaatkan jabatannya. Profesor seharusnya menjadi seorang pemimpin yang memimpin, membimbing, mendukung, dan menjadi teladan bagi mahasiswa-mahasiswinya. Namun mereka malah melakukan pelanggaran serius yang malah merusak reputasi dirinya sendiri, keluarga, mahasiswinya, dan universitasnya. Ini juga merupakan pelanggaran berat yang menjeratkan pelakunya terhadap banyak undang-undang, khususnya yang berhubungan dengan Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, pengawasan dan dan keberabian untuk melaporkan insiden serupa perlu ditingkatkan agar tindakan seperti ini tidak terulang kembali. Penyuluhan bagi dosen, khususnya profesor, juga seharusnya menjadi prioritas utama agar kesalahan yang sama tidak terulang kembali.
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo (UHO) Profesor B ditetapkan polisi sebagai tersangka kasus dugaan pelecehan seksual terhadap mahasiswi berinisial R (20). Polisi menemukan sejumlah barang bukti yang mendukung terjadinya tindakan pelecehan seksual ini beserta dengan laporan dari pelaku, korban, pelapor, dan saksi-saksi. Kasus dimulai saat korban menyerahkan tugasnya ke pelaku di rumah pelaku, yang diikuti dengan pelaku membuka masker dan menciumnya. Profesor B terjerat dengan Pasal 6 huruf A dan C Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) nomor 12 Tahun 2022. Karena tindakan ini, Prof B dituntut penjara selama 2 tahun 6 bulan dengan denda sebanyak Rp50 juta, subsider 6 bulan kurungan.
Kasus lain yang serupa terjadi di universitas yang sama. Seorang staf dosen dengan inisial AS melakukan pelecehan seksual terhadap seorang mahasiswi Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan UHO berisinial AAY (20). Kasus dimulai saat AAY diminta mengikuti ujian susulan oleh AS pada Minggu, 21 September 2024. Korban kemudian mendatangi ruang kelasnya, namun tidak menemukan seorang pun dan bertanya ke dosen. AAY kemudian diminta ke rumah dosen dan disitulah tempat terjadi pelecehan seksual.
Perilaku para dosen yang tidak senonoh ini seperti seorang kucing liar yang licik dan tidak setia. Kucing liar, khususnya jantan, sering menggunakan kelicikannya dengan posisi sebagai seorang jantan dalam suatu teritori untuk mendekati betina. Cara mendekati betina dilakukan dengan baik, lembut, dan bersahabat, padahal target utamanya adalah untuk kawin. Mereka juga bisa menipu betina kalau mereka tidak jahat untuk mendapatkan apa yang mereka ingini. Ini mirip dengan bagaimana para profesor ini menggunakan gelar nama yang dimiliki untuk memenuhi hawa nafsu dan melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswinya. Mereka juga memanfaatkan jabatan sebagai ancaman agar korban tidak melaporkan tindakan mereka itu terhadap pihak berwenang dan memastikan siklus kejadian serupa bisa terulang terus menerus. Kucing liar juga tidak setia dengan pasangan aslinya, seperti para profesor ini yang tidak setia dengan keluarganya atau dengan kebijakan kampus yang mengikatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H