Lihat ke Halaman Asli

Cinta itu Sederhana (1)

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

'Hmmm ... Cantik juga kalau pakai baju ini,’ aku mengagumi diriku sendiri di depan cermin.Hidung mancung, alis yang tebal seperti semut berbaris, mata yang bulat, dagu lancip, dan bibirku terlihat sexy. Dengan rambut panjang terurai, juga tubuh yang kurawat dengan baik, seperti artis terkenal. Itulah aku.

Namaku, Sandra Dwiyanti, kuliah semester 6 dengan jurusan komunikasi, memiliki pacar yang ganteng, anak pengusaha, dan satu kampus denganku. Hmmm ... Kurasa hidup ini begitu sempurna.

''Hei beb, mau kemana kita hari ini?'' Riko bertanya padaku.

Riko memang seorang pacar yang pengertian. Dia selalu memanjakanku, mengajakku makan di restoran mahal dan membelikanku barang-barang mewah. Aku suka pacaran dengannya, karena Riko, selalu tahu apa yang aku inginkan.

''BRAAK!!'' tiba-tiba saja, seorang cowok menabrakku dan menjatuhkan buku-buku yang aku bawa.

''Ga punya mata ya, emang ga liat orang segede ini?!'' aku memakinya.

''Eh ... Maaf mba, sorry, saya buru-buru'' cowok itu meminta maaf sambil mengambil buku-buku yang jatuh dan diserahkannya padaku.Tanpa berkata apapun lagi, cowok itu pun, segera berlalu, sambil berlari kecil, entah apa yang dia kejar. Aku ngedumel dalam hati, belum puas rasanya memakinya tadi. Tapi, saat ku ingat wajahnya, hmmm, ganteng juga dia, hehehe. Aku senyum sendiri tapi tetap merasa dongkol.

''Aku mau baju itu dong, boleh ga beb...?'' aku bermanja dengan Riko, sambil melingkarkan tanganku di lehernya dan kutunjuk baju berwarna pink, warna yang aku suka.

''Boleh dong beb, tinggal pilih aja, apapun yang kamu mau, oke'' Riko, selalu memberikan apa yang kuinginkan.

Terlintas dihadapanku, seorang cowok yang tadi siang menabrakku di kampus. Dengan gaya cueknya, cowok itu melintas di hadapanku. Dan tak kusadari aku memperhatikannya, sampai-sampai Riko menegurku. Agak kelabakan aku menjawab teguran Riko.

Sekilas, aku melihat cowok itu, berkumpul bersama dengan teman-temannya. Ada salah satu temannya yang aku kenal, Sandro, ya ... Itu Sandro, teman sekelasku. Aku akan bertanya perihal cowok itu pada Sandro, besok di kampus. Aku berkata dalam hati, tanpa dapat melepaskan pandanganku pada cowok itu.

“Kamu lihat apa sih dari tadi San?!” Riko bertanya lagi padaku dan membuatku kaget, agak kelabakan untuk menjawabnya.

“Ah!! Ga koq, tadi aku lagi lihat temanku di sana. Kayaknya itu Sandro deh, teman sekelasku. Aku ingin pinjam buku sama dia, tapi di kampus, aku ga lihat dia, Beb” aku berbohong tanpa berani menatap mata Riko yang mulai menyelidiki tingkahku dari tadi.

“Kamu mau aku antar kesana?”

“Hah!! nggg ga usah, Beb, besok aja aku temuin dia. Udah yuk! Kita cari tempat makan, udah laper nih!” buru-buru aku menarik tangan Riko, menjauh dari tempat cowok itu kumpul bersama teman-temannya.

“Sandro ... aku mau nanya dong?!”

“Wow!! Tumben kamu mau ngobrol sama aku. Biasanya khan, males deket-deket cowok dekil, maunya cowok atau cewek yang penampilannya oke, pake parfum mahal, yang baunya ... bisa kecium dari kelas sampe kantin. Hehehe...”

“Ga gitu-gitu juga kali, biasa aja ah. San ... gue serius nih, pengen tanya soal teman kamu?!”

“Teman? Temanku banyak loh. Teman yang mana non?” Sandro mulai menggodaku, sambil cengar-cengir memperlihatkan deretan giginya yang putih bersih. ‘Hmmm, nih anak ternyata merawat diri juga ya, walau penampilannya agak kumal,’ gumamku dalam hati.

“Kemarin, nongkrong di mall deket kampus khan? Nah!! ada cowok, bareng nongkrong sama kamu, pake baju warna biru kotak-kotak, truuus ... bawa tas warnanyaaa ... wah!! Kayaknya, warna tasnya ga jelas deh. Abis dekil... Itu siapa ya?” aku menjelaskan ciri-ciri si cowok yang menabrakku kemarin.

“Kotak-kotak, tasnya dekil?! Hmmm...” Sandro manyun-manyun dan matanya merem, berusaha mengingat-ingat siapa saja yang bersamanya kemarin. Gayaknya, mirip banget kayak tukang ramal di jalan-jalan. Hehehe.

“Heh!! Manyun-manyun lagi, siapa itu?!

“Ya, sebentar dong ... kayaknya ... itu ... Oooh, iya ya ya ya ... mungkin maksudmu Sakti, ya?” Sandro menyebut sebuah nama.

“Sakti?”

“Iya, dia itu namanya, Sakti. Tuh anak emang rada kumel, tapi ... prestasinya, jempol!!!” Sandro mengacungkan dua jempol tangannya ke depan mataku.

“Oya, memangnya apa prestasinya?!” aku pun bertanya, penasaran.

“Dia itu penulis loh. Dan anehnya, semua novelnya itu, semuanya ngomongin soal ... cinta. Kumel tapi romantis. Jempol, khan?!!” kembali Sandro mengacungkan jempol tangannya dan mendarat di pipi kananku, sambil cengar-cengir.

“Iiiihhh!!! Apaan sih. Dia itu kumel, sama kayak kamu, tahu!!! Dah ah, thanks ya...” aku pun berlalu meninggalkan Sandro yang masih cengar-cengir ga jelas.

“Hey ... denger-denger, kamu cari aku ya? Ada apa?”

Aku terdiam dan agak kelabakan saat Sakti menegurku, tiba-tiba. Saat itu kondisi kantin belum terlalu ramai, hanya ada beberapa mahasiswa yang nongkrong. Entah kenapa, aku merasa jantungku berdegup kencang. Ingin aku melanjutkan keinginanku untuk memarahinya dan memakinya, tapi ... aku hanya diam.

“Loh, koq diam. Kata Sandro, kamu cari aku? Ada apa? Oooh, masih belum puas ya soal yang kemarin itu. Oke, kemarin aku sudah minta maaf khan? Aku minta maaf lagi deh. Sorry banget, kemarin itu aku buru-buru untuk bimbingan dengan Pak Rahman. Udah agak telat soalnya” Sakti menjabarkan kenapa dia kemarin menabrakku.

“Eh, udah ga apa-apa koq” aku membalasnya singkat.

“Trus, kenapa kamu cari aku?

“Hah!!! Sandro bilang begitu ya? Nggg, ga ... ga apa-apa, Cuma tanya soal kamu aja koq, sama Sandro” aku berusaha menyembunyikan rasa deg-degan yang menyergapku, yang sulit aku kendalikan.

“Oke, jadi sekarang sudah ga ada apa-apa ya? Aku cabut dulu ya, ada kelas nih..!!” Sakti meninggalkanku begitu saja, membiarkanku bengong melihat dirinya yang semakin menjauh dari pandanganku.

Aku merasa heran dengan perasaanku, ada rasa suka, ada rasa sebel dan ada juga rasa jijik saat melihat tas yang bertengger di bahu Sakti. Tas itu, sangat kumal. Hanya terbuat dari kain, dan seperti tidak berbentuk sebuah tas. Koq ada ya, hari gini bawa tas seperti itu ke lingkungan kampus.

“Gimana yang sudah di samperin sama Sakti ... orangnya oke juga khan? Tiba-tiba Sandro menyapa dan duduk di sebelahku.

“Sssstt ... berisik. Di kelas nih, ntar kedengeran Bu Ratna, loh!!” aku berusaha memperingati dan mengacuhkan Sandro yang berusaha menggodaku.

“Eh San, menurutmu, Sakti itu orangnya gimana? Cukup keren khan, dan ga kalah keren khan dengan pacarmu itu?!” Sandro kembali menggodaku, saat kami sama-sama keluar kelas dan menuruni anak tangga yang cukup membuatku harus hati-hati, karena kondisi anak tangga yang agak curam.

“Bukan urusanmu, aku ga tertarik sama orang dekil macam kamu dan teman kamu itu, tahu!! Kemarin itu, aku tanya soal Sakti, karena dia menabrakku sampai buku-buku yang aku bawa jatuh semuanya. Dan dia pergi begitu saja. Itu, kenapa aku tanya soal Sakti sama kamu. Jelas!!!” aku menjelaskan dengan nada ketus, sambil mataku fokus melihat anak tangga yang akan kulalui.

“Oke oke ... sorry deh, hati-hati tuh!! Lain kali, kalau ke kampus, ga usah pake sepatu hak tinggi begitu, kayak mau pergi ke pesta aja. Duluan ya...” Sandro pun berlalu, dan kepergiannya membuatku dongkol dengan perkataannya soal sepatuku.

“Sandra ... koq tumben sih kamu ajak aku ke toko buku. Biasanya khan ngajak shopping, beli baju, sepatu, tas, makan-makan...”

“Udah, ikut aja ... ga usah bawel!!”Aku menarik tangan Hani, sahabatku. Rasa penasaran terus menyelimutiku untuk membaca novel karangan Sakti.

“Nah, akhirnya ketemu juga nih. Wow... best seller” aku membolak balikkan buku yang kutemui, memandangi dan membaca sinopsis yang ada di bagian belakang buku yang masih terbungkus plastik. Rasa yang begitu kuat untuk memiliki buku itu, dan akhirnya tanpa berpikir panjang, kuberikan lembaran uang sesuai harga buku itu pada kasir.

Aku membuka plastik pembungkus buku, ku amati dan kubuka halaman demi halaman, tanpa bermaksud untuk langsung membacanya. Ketertarikan akan judul yang tertera pada buku itu dan nama dari penulis itu, yang membuatku ingin memiliki buku yang kini telah berada di tanganku.

“Cinta itu Sederhana” Sakti. Kubaca berulang judul dan nama penulisnya. Rasa ingin membaca isi cerita pun akhirnya memaksaku untuk mulai membuka halaman demi halaman dari buku yang susah payah aku cari di toko buku. Mendengarkan gerutuan Hani, sahabatku. Yang tidak sabar mengikutiku mondar mandir di area toko buku. Sampai akhirnya aku menemukan buku ini setelah lebih dari satu jam, mencari kesana kemari.

Tak kusadari, air mataku mulai turun perlahan namun semakin deras kurasakan. Bahkan air dari dalam hidungku pun mulai mengikuti arus deras dari air mataku. Kubaca terus halaman demi halaman tanpa ingin kuhentikan walau sedetik saja, sekedar ingin minum atau mengambil tissue untuk mengusap dan membersihkan air mata dan ingusku yang bergantian mengalir. Sampai malam menyapaku.

“Pagi Beb ... kamu cantik hari ini. Mau kemana kita?” Riko menyapaku dari dalam mobilnya yang sudah memasuki halaman rumahku. Tanpa ingin turun, untuk sekedar menyapa ibuku yang sedang menyiram bunga-bunga kesayangannya di halaman samping rumah.

Riko memang selalu datang menjemputku untuk berangkat ke kampus bersama, walau terkadang mobil Riko berbelok menjauh dari kampus kami. Mengajakku jalan-jalan menghabiskan waktu dan uang yang diberikan orang tua Riko pada anaknya. Jarang sekali Riko turun dari mobilnya, mengetuk pintu rumahku, menyapa ibuku, sekedar minum atau makan bersama di dalam rumahku. Hanya klakson mobil yang menjadi andalannya, memaksaku untuk sesegera mungkin keluar dan menemuinya.

“Hari ini aku mau ke kampus aja. Ada pelajaran penting hari ini” aku menjawab Riko, ketika mobil mulai beranjak keluar dari halaman rumahku. Aku pun melambaikan tangan pada ibu yang memandangiku dengan senyumnya yang tulus.

“Wah ... ada angin apa nih?! Tumben? Ga mau shopping, hari ini?” Riko bertanya dan membujukku untuk tidak ke kampus. Namun aku bersikeras memintanya untuk mengantarkanku ke kampus.

Walau terdengar nada kesal yang keluar dari mulut Riko, namun Riko memenuhi keinginanku untuk mengantarkanku ke kampus. Riko memang seorang pacar yang baik, yang selalu memenuhi dan menuruti apapun yang aku inginkan. Namun terkadang ada sesuatu yang kuharapkan lebih darinya ... entah apa?

“Pagi Sandra ... apa khabar? Masih ingat aku khan? Tumben pagi ini kamu ke perpustakaan? Lagi ga ada kelas nih?!” pertanyaan demi pertanyaan diajukan Sakti padaku, saat aku baru saja sampai di perpustakaan yang masih dalam kondisi terkunci.

“Eh ... kabar baik. Koq masih dikunci?”

“Ga pernah ke perpus ya? Memang bukanya jam 9 nanti, koq. Ini khan masih jam 8” Sakti tersenyum sambil memberi penjelasan padaku.

“Loh, kamu sendiri ngapain pagi-pagi sudah di sini?” tanyaku.

“Aku biasa pagi-pagi kesini, sambil menunggu perpus dibuka, aku bisa mengerjakan skripsiku. Di sini nyaman, tidak berisik.” Sakti menjawab sambil mukanya serius memandangi laptop yang ada dihadapannya, dengan tangannya yang terlihat sibuk mengetik.

“Oooh, kamu lagi skripsi ya? Susah ga sih?” perlahan aku mencoba mendekati dan duduk di sebelah Sakti. Memberanikan diri untuk berbincang dengannya.

“Tergantunglah ... kalau kita serius dan bersungguh-sungguh, ga ada yang sulit koq. Asal, jangan malas aja. Karena sekali kita malas, buntutnya ... ga selesai selesai deh”.

Ada perasaan nyaman bersama Sakti pagi ini. Mendengarkannya bicara, melihat wajahnya yang begitu serius namun masih kulihat ketampanannya. Hmmm ... aku mengakui, Sakti itu begitu tampan. Dengan badannya yang tegap, hidungnya yang mancung, bibirnya ... aku senang melihat bibirnya. Juga dengan kata-kata yang keluar dari bibirnya itu, begitu membuatku teduh.

Banyak hal yang kami bicarakan, terutama mengenai novelnya yang baru aku beli. Cinta itu Sederhana, judul yang luar biasa dengan isi cerita yang bisa membuatku kembali berpikir akan arti cinta yang sebenarnya.

“Kamu punya pacar, Sakti?” entah kenapa, aku memberanikan diri untuk bertanya, tentang hal yang sangat pribadi pada Sakti, dan pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibirku.

“Aku...?” Sakti menoleh, memandangku dan tersenyum. Senyumannya serasa membawaku ke awan yang tinggi, memberiku begitu banyak udara, membuatku begitu puasnya menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Tak ada beban.

“Memang ada yang mau sama cowok dekil macam aku? Aku rasa, kamu sendiri, jijik khan sama aku, terutama ... nih ... sama tasku”. Sakti menyodorkan tas dekilnya ke arahku, sambil tersenyum.

Aku tidak bergerak, tidak berusaha menghidari tasnya yang menyentuh tanganku. Mendadak, tidak ada rasa jijik yang kurasakan. Hanya rasa kagum dan nyaman berada bersama Sakti.

“Dulu, aku pernah punya cewek. Tapi, itu sudah lama sekali, waktu aku SMP. Kami menjalin hubungan cukup serius dan cukup lama. Dari 1 SMP sampai 3 SMP. Saat perpisahan sekolah, mendadak Arnita, pacarku, memutuskan hubungan, dengan alasan dia akan pindah sekolah ke kota lain. Karenamengikuti ayahnya yang dipindahkan ke kota lain” Sakti mulai bercerita, namun tiba-tiba dia terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya dia kembali bercerita.

“Sebenarnya buatku, tidak menjadi masalah, apabila memang kami harus berjauhan dan berlainan kota. Yang terpenting untukku, komunikasi. Cinta itu sederhana, Sandra. Asalkan kita saling percaya, tidak menyakiti dan menjaga komunikasi, aku yakin, berjauhan tidak menjadi masalah. Toh, kami khan belum suami istri. Justru buatku, kondisi itu bisa kami jadikan pembelajaran untuk mengetahui perasaan masing-masing” Sakti menjabarkan segala hal yang dirasakannya. Ada rasa bimbang dihatinya, sepertinya, Sakti masih mencintai kekasihnya.

“Wanita itu berberda, Sakti. Kamu harus mengetahui itu. Kadang, wanita tidak merasa ada seseorang yang dapat melindunginya, memberikan kasih sayang padanya, apabila sang pujaan hatinya, jauh darinya.” Aku berusaha membela diri sebagai seorang perempuan.

“Aku mengerti, San. Tapi, kondisi seperti itu khan tidak akan terus kami alami. Jika kami serius, suatu saat nanti kami akan bersama khan? Dan saat bersama nanti, akan kuberikan segenap rasa cintaku padanya. Hanya itu yang aku harapkan, namun dia, tetap ingin hubungan kami putus, tanpa memberi kesempatan untuk mencoba terlebih dahulu. Cinta itu sederhana, Sandra. Kita tidak pernah tahu, jika kita tidak memberinya kesempatan.”

Kesempatan...? Kesempatan seperti apa yang dapat kuberikan pada Riko? Agar cinta kami tetap bersama dan aku tidak berpaling darinya? Hah!! Tidak ... kenapa aku berpikir akan berpaling dari Riko? Apakah aku mulai bosan berhubungan dengan Riko? Yang selalu bersenang-senang, shopping, bukankah aku menikmatinya? Tapi memang, aku tidak pernah berbincang layaknya aku dan Sakti saat ini? Apakah ... aku ... mulai menyukai Sakti? Tidak!! Itu tidak boleh terjadi... Tiba-tiba pikiranku melayang, mencoba bertanya-tanya dan merasakan hal yang tak terduga. Namun berusaha kutepis lamunan itu.

“Darimana saja kamu, dari tadi aku cari-cari kamu” Riko menegurku dengan sedikit keras, saat aku baru saja keluar dari kelas terakhirku hari ini.

“Sorry, aku lupa kasih tahu kamu, kalau pagi tadi aku ada di perpustakaan sampai siang.”

“Apa!! Kamu di perpustakaan? Tumben sekali, lalu kenapa kamu tidak kasih tahu aku?! Hpmu juga tidak bisa dihubungi. Ada apa sih, koq aneh sekali hari ini!!” Riko berkata dengan nada tinggi. Tidak pernah Riko berkata dengan nada seperti itu. Mungkinkah, karena selama ini, aku selalu patuh padanya, selalu memberitahukan apapun yang aku kerjakan, dimana aku berada, selalu berada bersamanya, handphoneku pun tak pernah kumatikan, bahkan saat menchargenya, hp tetap kunyalakan. Pernah, hpku mati karena aku lupa menchargenya, Riko menegurku dan memintaku untuk tidak boleh lupa lagi dan tetap membiarkan hp selalu dalam kondisi hidup.

“Hey ... kenapa diam, aku sedang bertanya padamu!!” Kembali Riko menegurku dengan nada keras, dan membuatku hampir menangis, karena Riko tidak pernah memperlakukanku seperti itu, bahkan di depan orang banyak.

“Maap, aku memang sengaja meninggalkan hp di dalam tas yang aku masukkan ke dalam locker. Aku takut mengganggu di perpustakaan” aku menjawab dengan wajah tertunduk, rasa malu membuatku tak dapat memperlihatkan wajahku yang sedang di amati oleh beberapa orang yang lalu lalang dan sekilas melihat kami bertengkar.

“Lain kali, kamu tidak boleh begitu. Khan sebelum kamu masuk ke perpustakaan dan menaruh hp di locker, kamu bisa sms dulu ke aku. Nanti aku bisa menyusulmu ke perpus.”

Aku malas membalas amarah Riko, kubiarkan Riko menggerutu dan memarahiku. Aku hanya berusaha menarik tangannya untuk segera berlalu, meninggalkan orang-orang kepo yang berusaha ingin tahu.

Malam ini serasa begitu lama kurasakan, jarum jam terasa tidak bergerak, diam ditempatnya. Kuraih novel yang kuletakkan di atas bantal, sengaja kuletakkan disana, berharap dapat menemaniku tidur dan memberi ketenangan. Kembali kubuka dan kubaca ... sampai tak terasa, habis sudah kubaca hanya dalam waktu satu malam saja. Padahal, masih ada beberapa lembar tersisa dari kemarin.

Malam begitu sunyi, begitu hampa kurasakan. Mendadak, hanya bayangan wajah Sakti yang menari-nari di atas kepalaku, senyumannya yang tak dapat kulupakan. Kata-katanya yang sanggup membuatku terus berpikir akan arti cinta yang sesungguhnya. Apakah aku mencintai Riko, selamanya ini? Kenapa aku tidak pernah membayangkan senyuman Riko menemani malamku. Kenapa malam ini, selalu wajah dan senyuman Sakti yang selalu menari-nari dimataku, menemani malamku... Apakah aku mulai mencintai Sakti? Bagaimana dengan Riko?

Bersambung...

***Cinta itu Sederhana...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline