Kalimat di atas bagai mewakili masalah yang kini kian dirasakan oleh sebagian besar pelajar Indonesia, disertai dengan berbagai macam kalimat lanjutan seperti, “Remed lagi, remed lagi. Englishbagus banget, eh, Bahasa Indonesia remed, capek deh,” atau “Males sih belajar Bahasa Indonesia. Tapi belajar saja remed apalagi nggak.” Hmm, mungkin ini salah satu (dari banyaknya) alasan mengapa belajar Bahasa Indonesia itu rumit, mungkin justru karena kita jarang menggunakannya dengan benar (dengan formal).
Bangga Berbahasa Indonesia
Namun semestinya, ada berbagai alasan mengapa kita harus bangga terhadap bahasa ibu kita ini, bahasa indonesia. Salah satunya yaitu karena bahasa Indonesia merupakan salah satu bentuk perjuangan bangsa dalam menyatukan budaya yang bermacam-macam dari seluruh nusantara. Pasalnya terdapat lebih dari 500 hingga 700 bahasa daerah yang diucapkan/dipakai di seluruh ibu pertiwi (benar-benar angka yang fantastis untuk ukuran ragam bahasa).
Sejarah berkata bahwa bahasa Indonesia merupakan turunan dari bahasa Melayu yang banyak menggunakan dialek dan kata-kata dengan pengucapan serta akhiran ‘o’, seperti misalnya ‘kemano’ yang kemudian seiring perkembangan bahasa Indonesia diucapkan dengan ‘a’, ‘kemana’. Berkat peran Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang kian meluas, begitupun dengan tersebarnya bahasa Melayu ini. Sejak diusulkannya bahasa Melayu sebagai bahasa resmi bangsa Indonesia oleh Muhammad Yamin pada 28 Oktober 1928, bahasa Indonesia telah mengalami 4 perubahan ejaan, yakni yang pertama ejaan van Huijsen yaitu ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin. Lalu ejaan Republik tahun 1947 atau yang biasa dikenal dengan ejaan Soewandi. Sejak diresmikannya ejaan inilah huruf vokal ‘oe’ dibaca ‘u’ seperti pada kata ‘oemoer’ yang kemudian ditulis ‘umur’ sesuai dengan cara membacanya (dan berbagai perubahaan ejaan lainnya).
Dengan segala perkembangannya, sampailah kita di era bahasa Indonesia dengan EYD (ejaan yang disempurnakan). Ejaan ini diresmikan pemakaiannya sejak tahun 1972, tepatnya tanggal 16 Agustus.
Ada berbagai anggapan mengapa justru bukan bahasa Jawa atau Sunda yang dipakai sebagai bahasa nasional? Dan lagi, ada beberapa negara lainnya yang juga menggunakan bahasa yang sama (bahasa Melayu), namun mengapa bahasa ini yang dipilih? Sesungguhnya alasannya karena bahasa Melayulah yang lebih populer dibandingkan dengan bahasa Jawa dan Sunda sehingga lebih banyak dikenal. Jadi walaupun asal-usul bahasa Indonesia tidak benar-benar orisinil (karena menyerap bahasa Melayu), perkembangan dari 4 ejaan tadi telah benar-benar mengubah bahasa Indonesia sampai sekarang yang kita pakai dalam keseharian.
Jadi sudah sepatutnya kita bangga menggunakan dan mempelajari Bahasa Indonesia. Tidak hanya sekedar karena merupakan bahasa nasional dan bahasa persatuan yang telah disetujui bahkan sebelum proklamasi kemerdekaan, namun karena kita juga perlu mengenali dan mengembangkan hasil karya budaya kita sendiri.
Lebih Dicintai di Negara Lain?
Keunikan asal-usul bahasa Indonesia tampaknya belum cukup untuk menarik bangsanya sendiri untuk lebih mencintai dan menghargainya. Faktanya berbagai anggapan bahwa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar kadang dianggap kuno menunjukkan bahwa kecintaan terhadap bahasa nasional yang kurang.
Cukup berbeda dengan negara Australia, Vietnam, atau Jepang (serta lebih dari 40 negara lainnya di dunia yang juga mempelajari bahasa Indonesia) yang beranggapan bahwa mempelajari bahasa Indonesia merupakan hal penting. Bila anda dapat berbahasa Indonesia dan Inggris dengan fasih, bekerja sebagai guru Bahasa Indonesia di negara kanguru, Australia bisa jadi pekerjaan yang menjanjikan dengan gaji yang lebih dari cukup (walaupun setara dengan biaya hidup di Australia yang juga tinggi, ehehehe). Di Vietnam, bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa nasional kedua, begitupun Suriname yang kebanyakan penduduknya berbahasa Jawa.
Kabarnya, budaya Indonesia yang beragamlah yang menarik orang-orang untuk belajar bahasa Indonesia yang memiliki keunikan intonasi, kejelasan artikulas (lebih jelas dibandingkan dengan pengucapan bahasa ras Mongoloid lainnya, seperti Korea atau China), serta mudah untuk dipelajari. Sebagai contoh, dalam bahasa Indonesia kata kerja dalam segala bentuk kalimat dalam berbagai keterangan waktu tetap saja sama. Aku makan nasi, mau itu kemarin, sekarang, atau besok tetap saja judulnya ‘makan’ bukan ‘makaned’ (seperti bahasa Inggris beberapa kata dalam bentuk lampau ditambahkan ‘ed’ di belakangnya).