Banyak menggerutu dan kemudian membuat depresi adalah sekian banyak dari pekerja yang sering dijumpai pada banyak perusahaan. Hampir disemua perusahaan isu-isu sentral terkait mengelola sumber daya manusia atau juga kerennya sekarang disebut pula “human capital” atau modal manusia. Sebuah perubahan yang menurut saya dari kata “sumber daya” atau disebut asset/harta sedangkan sekarang menjadi “modal”. Bagi saya anak akuntansi maka perbedaan antara aset/harta dengan modal/ekuitas ini adalah sebuah hal yang signifikan perlu dianalisa dengan cermat.
Pekerja Sebagai Aset?
Menurut PSAK No. 16 Revisi Tahun 2011, aset adalah semua kekayaan yang dipunyai oleh individu ataupun kelompok yang berwujud maupun tidak berwujud, yang memiliki nilai akan memiliki manfaat bagi setiap orang atau perusahaan. Dari pengertian aset sesuai Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) ini maka setidaknya aset dikategorikan diantara berwujud atau tidak berwujud dengan kata kunci memiliki nilai. Jadi manusia atau pekerja dianggap sebagai sumber daya atau aset maka tidaklah dapat dianggap sebagai kekayaan yang berwujud atau dapat dimasukkan dalam komponen neraca namun sebaliknya dia tidak berwujud namun memiliki nilai untuk mewujudkan tercapainya tujuan perusahaan sehingga secara langsung pula akan menambah kekayaan tercermin dari laporan keuangan sebuah perusahaan secara terukur.
Namun kelemahan terjadi bila perusahaan dalam mengelola pekerja atau suber daya manusia sebagai aset perusahaan. Mengapa? Karena pada satu waktu tertentu aset akan mengalami penurunan nilai. Penurunan nilai dikarenakan oleh faktor manusia secara alami seperti usia, kemampuan berpikir, agility, dan faktor alami kejiwaan lainnya. Sehingga secara tidak langsung secara alami bila kita memasukkan manusia atau pekerja sebagai aset maka secara otomatis pada satu waktu akhirnya nilai menjadi “nol” dan siap-siap untuk “dibuang” atau “dihapuskan” dari kekayaan perusahaan. Miris!
Capek kerja ujung-ujungnya tidak dihargai. Sehingga menyadari hal itu, beberapa pekerja mengantisipasi sebuah peribahasa yang lama yaitu “habis manis sepah dibuang” dengan beberapa pengertian :
- dibuang setelah tidak dipakai lagi,
- sesuatu disimpan pada saat diperlukan saja, dan dibuang jika tidak diperlukan lagi,
- selagi masih digunakan dirawat dengan baik, tetapi bila tidak dipergunakan lagi dicampakkan begitu saja.
Sebuah pengandaian yang oleh banyak pekerja menjadi momok, apalagi dalam iklim dan budaya perusahaan dengan derajat kompetisi dan kompetensi yang rendah tentu antara pekerja atau manusia yang memiliki nilai dengan yang “nol” sama sekali terkadang tidak tampak karena aturan main yang tidak jelas. Alhasil pekerja sebagai aset atau kekayaan yang memiliki nilai bagi perusahaan mencari bentuk pemenuhan kebutuhan lain seperti tambahan gaji, afiliasi, dan aktualisasi diri (hirarki kebutuhan sesuai Teori Maslow).
Dari piramida tingkatan kebutuhan pekerja diatas maka tampaklah bahwa tren adanya pekerja tetap kemudian mencoba mencari pekerjaan sampingan adalah setidaknya ada pada level I (Fisiologis) yaitu pemenuhan dasar sebagai manusia yaitu akan tambahan pendapatan untuk pemenuhan kebutuhan dasar seperti makanan, minuman dan pakaian. Pada level I (Fisiologis) ini diperkirakan bahwa antara gaji yang pekerja diterima sebagai aset perusahaan tidak mencukupi kebutuhannya bahkan untuk yang paling dasar sekalipun. Diperkirakan para pekerja seperti ini mencari sampingan pekerjaan lain karena perusahaan kecil dan bagi pekerja seperti ini hanya sebagai uji coba saja sebelum mendapatkan perusahaan yang lebih mapan.
Bagaimana tidak mencari tambahan penghasilan bila perusahaan hanya menggaji dibawah upah UMR dan mengaggap pekerja juga masih dibawah aset atau sumber daya bahkan hanya sebagai “beban” dimana hanya diperhitungkan pada 1 tahun laporan keuangan saja di Laporan Laba Rugi yang kapan saja dengan sesuka hati untuk dibuang. Pada fakta di lapangan banyak terjadi meski hal ini melanggar perundang-undangan.
Sedangkan ekstrim yang kedua mengapa pekerja kemudian mendua hati dengan mencari sampingan atau bahkan bersiap untuk “lompat” ke kapal lain adalah dikarenakan ekspektasi terhadap pemenuhan kebutuhan di level puncak yaitu kebutuhan aktualisasi diri. Fenomena pada level ini adalah bagi manusia yang ditelantarkan karena kebijakan perusahaan dengan prisip seperti diatas kita bahas yaitu manusia dianggap aset atau dipakai atau dihargai hanya saat perlu dan punya nilai, bahkan tidak setara antara nilai dengan apresiasi yang diterima. Pada level seperti ini para pekerja yang pastinya adalah pekerja yang memiliki kompetensi tinggi namun tidak memiliki tempat dalam mengembangkan ide, gagasan dan kreatifitas. Diberangus oleh iklim dan budaya perusahaan yang kurang baik. Bahkan terkesan sebagai perusahaan “ABS” (Asal Bos Senang).
Pada tahap awal para pekerja akan mencoba lirik sana-sini ke tempat kerjaan lain, mungkin pada tahap awal menjadi konsultan independen, freelancer, atau project manager lepas. Sebuah bentuk protes terukur yang kemudian bila tidak terpenuhi dan diberikan tanggapan bagi perusahaan akan menunggu waktu untuk kemudian “say goodbye” alias “resign”!
Tentunya mereka-mereka yang memiliki idealisme dalam bekerja adalah kebanyakan orang-orang yang merdeka, tegak lurus dengan kompetensi atau keilmuannya dibandingkan sebuah loyalitas konyol terhadap pribadi pimpinan perusahaan. Mereka terkadang disebut “bad boys” namun pada perusahaan-perusahaan modern sikap ini adalah dianggap sebagai nilai perusahaan yang perlu diakomodir diberi ruang untuk menjadi bagian dalam penyelesaian tugas yang saat ini memerlukan pemikiran baru dan keluar dari kebiasaan (think out of the box).