“Juma” (Bahasa Karo) diartikan sebagai ladang atau perladangan. Suku Karo adalah merupakan salah satu suku di Sumatera Utara yang identik dengan pertanian dimana salah satu pusat pertaniannya berlokasi di seputaran Kabanjahe (Ibukota Kabupaten Karo). Demikian pula identiknya Suku Karo dengan pertanian sehingga Kabupaten Karo disebut pula dengan “Tanah Karo Simalem”. Tanah Karo yang subur, tenteram, dan damai.
Tanah sebagai dasar kehidupan manusia sebagaimana disebutkan bahwa manusia berasal dari tanah dan kembali juga (meninggal) menjadi tanah.
Mungkin semangat yang menyatu dengan tanah sehingga masyarakat dan Suku Karo menyebut daerahnya pula “Tanah” Karo. Tanah yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia untuk dikelola demi kelangsungan hidup. Sungguh mengilhami bahwa awal dan akhir hidup di dunia adalah berasal dari tanah.
Pertanian di Tanah Karo dengan keaneka ragamannya sudah melegenda di Tanah Air. Jeruk Medan orang menyebutnya yang justru sebenarnya berasal dari Tanah Karo tersebar luas hingga dipasok ke ibukota negara bahkan ke luar negeri. Belum lagi hasil pertanian berupa tanaman palawija lainnya seperti cabai merah, kol, seledri, tomat dan banyak jenis lainnya yang akan kita dapati saat memasak yang berasal dari jerih lelah petani Tanah Karo.
Namun pernahkah kita menyadari bahwa hasil atau “ouput” pertanian ini sering merupakan hasil dari sebuah pertaruhan dan penyerahan diri antara “Juma” dengan Sang Pemberinya. Dalam beberapa kesempatan saat mewancarai para petani di tengah-tengah “Juma” saya bertanya bagaimana cara mereka bisa hidup memenuhi kebutuhan keluarga dengan tetap mengandalkan hasil melimpah dari “Juma”. Maka jawaban sederhana yang saya dapatkan adalah “berdoa” dan berserah saja cukup. Terlepas dari kecanggihan maupun rekayasa genetik untuk menghasilkan bibit dan pupuk yang baik namun bila alam yang tidak bersahabat maka hasilnya akan menjadi nihil bahkan rugi. Belum lagi istilah “belum kenak harga” istilah disini menyebutkan antara biaya yang keluar tidak sebanding dengan harga jual.
Ditengah-tengah ketidakpastian antara usaha dan hasil, di “Juma” masihlah suatu tempat terindah yang pernah saya lihat.
Hamparan tanah yang luas, gubuk reot ditengahnya berikut tanaman yang berdiri membentang seakan sebuah harmoni kehidupan antara pencipta dan ciptaanNya. Keringat yang mengucur di tengah-tengah teriknya matahari, mencangkul, menyemai, meyemprot racun, dan akhirnya memanen adalah rentetan dari sebuah proses di “Juma”. Tidak lupa pula bercengkrama, makan siang serta beristirahat.
Petani di “Juma” sekan-akan berinteraksi dengan tanamannya dan betegur sapa. Hampir jauh dari kebisingan dan hingar bingar suara perkotaan dengan kemegahan gedung bertingkat dengan manusia yang lalu lalang tanpa kata demi mengejar segala sesuatu yang serba praktis dan ekonomis.
“Juma” memberikan kebebasan impian tanpa batas, menjaga keseimbangan antara kerja dan kepenatan. Yang ada hanya harapan, merawat dengan kerja keras dengan rasa ikhlas.
Tidak ada atasan yang ada hanya doa kepada Yang Maha Atas. Tidak pernah kapok meski rugi namun tetap bersemangat pergi ke “Juma” karena harapan masih ada di depan. Tidak instan dan menikmati sebuah proses panen dari waktu ke waktu. Karena Surga bukan dicari, ada didepan mata bersama selalu bersua di “Juma”.
Selamat Sore dari Karo Mergana anak Parjuma-juma….