[caption id="attachment_367774" align="aligncenter" width="553" caption="ilustrasi (online.wsj.com)"][/caption]
Selalu saja ada orang di sekitar kita yang suka bertanya tentang gaji teman-temannya lalu membandingkannya dengan miliknya. Kita mungkin salah satunya. Saya mungkin, tapi saya selalu menghindarinya. Membandingkan antara jumlah gaji yang satu dengan yang lain memang mudah. Hasilnya jelas, siapa yang lebih ‘makmur’ adalah yang lebih besar dan yang lebih kecil yang ‘nelangsa’.
Seorang kawan saya bercerita kalau gaji seorang pegawai warteg di Jakarta biasanya berkisar 1 juta hingga 1,5 juta rupiah. Kalau dibandingkan mereka yang kerjadi kantoran yang bergaji 4 juta, tentu angka gaji pegawai warteg jauh lebih kecil. Dengan mudah, kita bisa berkesimpulan kalau mereka yang di kantoran lebih makmur.
Memang kelihatannya demikian. Tapi kita lupa banyak hal di luar sekedar angka gaji yang tidak kita perhitungkan. Pegawai warteg mungkin bergaji 1 juta rupiah, tapi ia tak butuh bayar tempat tinggal dan bayar makan. Gaji 1 juta itu sudah bersih ia bisa simpan. Sementara mereka yang bergaji 4 juta, harus membayar kos, makan, dan juga transport.
Katakanlah kos di Jakarta mencapai 750 ribu, makan 1,5 juta, dan transportasi 500 ribu. Jadi uang yang bisa disimpan hanya sekitar 1,25 juta. Kalau ini dibandingkan dengan yang bergaji 1 juta, ya yang kantoran akan sedikit beruntung. Tapi jika dibandingkan dengan yang bergaji 1,5 juta, yang kantoran tentu yang ‘nelangsa’.
Siapa nelangsa, siapa makmur?
Itu hanya sedikit hal yang banyak orang tidak atau lupa menghitungnya. Tapi di luar itu, ada banyak hal lainnya yang harus kita perhatikan sebelum kita men-judge diri kita lebih ‘nelangsa’ atau lebih ‘makmur’.
Pertama, pengalaman dan ilmu. Banyak orang tidak menghitung dua hal ini ketika mereka bekerja. Pengalaman bekerja tentu berbeda-beda di tiap bidang pekerjaan. Pengalaman akan susah di-kuantifikasi atau dihitung seperti materi.
Seorang kawan saya selau mengeluh gajinya tidak beranjak dari 4 juta rupiah. Ia bekerja di bidang media, di salah satu media terbesar di negeri ini. Sehari-hari ia ditugaskan untuk mewawancarai banyak tokoh besar dan tak jarang ia mewawancarai kepala daerah. Hampir setengah dari seluruh gubernur di Indonesia pernah ia wawancarai tatap muka langsung. Ia mengeluh karena temannya yang bekerja di bidang migas begaji dua kali lipat darinya.
Memang jelas sekali perbedaan gajinya. Tapi bagi saya dua-duanya sama-sama saja. Begini, gaji 4 juta tentu berbeda jauh dengan 8 juta. Tapi pengalaman bertemu dengan hampir seluruh gubernur di Indonesia adalah pengalaman yang ‘mahal’ sekali. Tak banyak macam orang mau ditemui oleh gubernur. Apalagi, ketika wawancara dengan gubernur dijalani, betapa banyak ilmu dan pengalaman dari mereka yang bisa dipelajari. Betapa mahal pengalamannya bukan?
Sementara teman yang bekerja di bidang migas, mereka bekerja di site-site migas yang jauh dari pusat kota. Yang mereka tiap hari lakukan adalah bekerja di site migas, dari pagi hingga sore, lalu pulang ke mes pekerja, besoknya kembali begitu berulang-ulang. Gajinya memang 2 kali dari yang bekerja di bidang media, tapi pengalaman yang diterima juga berbeda.