Rabu, 24 Juni kemarin, sejumlah massa menggelar demo di komplek gedung MPR/DPR RI menolak Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Ada kejanggalan di situ, karena antara isu dan tuntutan cenderung berbeda, kontradiktif.
Adanya bendera HTI sebagai organisasi yang legalitas hukumnya telah dicabut secara resmi sejak 19 Juli 2017 ---Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor: AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI---, organisasi yang anti demokrasi dan Pancasila, serta adanya tuntutan pemakzulan Presiden Jokowi adalah sedikit contoh dari paradoksial di tengah aksi unjuk rasa tersebut.
Namun sebagai warga negara yang berdomisili di negara hukum, penulis akan melihat hal ini dalam konteks hukum di mana proses, mekanisme, penafsiran dan hasilnya juga menggunakan hukum sebagai acuan.
Sebelum demo terjadi, banyak berseliweran di grup-grup WA (WAG) kopian URL dari situs web: https://www.gelora.co/2020/06/ternyata-trisila-dan-ekasila-di-ruu-hip.html. Di bawahnya ada beberapa tagar di antaranya, PDI_PerjuanganUntukKomunis, PDIPSarangKomunis, dan tagar terakhirnya adalah LengserkanJokowi. Tuntutan yang terakhir ini yang nanti akan penulis bahas dari kacamata hukum.
Untuk diketahui bahwa RUU HIP waktu masuk Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, semua fraksi setuju dibahas ke tingkat paripurna untuk menjadi UU, kecuali Partai Demokrat (PD).
Bahkan partai-partai Islam ---tanpa kecuali--- meminta agar RUU itu menjadi hak inisiatif DPR. Namun, setelah disepakati, masalah HIP menjadi kontroversial di tengah masyarakat.
Semua partai yang tadinya mendukung, putar balik 180 derajat, kemudian ramai-ramai menolak RUU tersebut, juga menolak (berkilah) sebagai pencetus RUU itu.
Padahal proses pembentukan RUU HIP sudah sesuai dengan prosedur di DPR. Inilah sandiwara yang terjadi di antara para politisi terhormat yang berkantor di gedung kura-kura itu.
Bukankah RUU tersebut sudah dibahas sebanyak 12 kali di sidang antar fraksi, bukankah RUU itu sudah ada Panitia Kerjanya (Panja), sudah ada naskah akademisnya, sudah mengundang ahli hukum tatanegara dari kalangan kampus/ akademisi untuk didengar pendapatnya?
Jika tidak sesuai prosedur seperti di atas, apakah RUU tersebut bisa disepakati oleh Baleg DPR RI sebagai RUU dan selanjutnya dapat menjadi hak inisiatif DPR?
Ketika diajukan ke presiden untuk mendapatkan persetujuan, masalah HIP ini menjadi viral di media massa. Kebanyakan masyarakat percaya, seolah partai kepala banteng itu akan menghidupkan kembali PKI di negeri ini.