Lihat ke Halaman Asli

Sukron Makmun

Peneliti, penulis

Tolak RUU-KUHP, Aksi Mahasiswa Minus Filosofi dan Literasi

Diperbarui: 2 Oktober 2019   06:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fenomena pelajar dan mahasiswa yang demo menuntut RUU KUHP mengindikasikan betapa rapuhnya sistem pendidikan di negeri ini. Praksis pendidikan nyaris tidak didasari oleh paradigma dan filosofi pendidikan yang kuat.

Misalnya, sekelas ketua BEM dari kampus ternama ternyata ketahuan belum membaca RUU KUHP-nya saat ditanya Menteri Yasonna Laoly. Tapi dengan gagah berani berdisukusi di layar televisi. Betapa naifnya, karena tidak tahu apa yang sebenarnya mereka perjuangkan.

Dua ketua BEM lainnya dari perguruan tinggi negeri paling top juga kurang lebih sama. Bahkan ketiga-tiganya tidak ada satupun yang dari jurusan hukum. Itu tidak jadi masalah seandainya mereka mau berdiskusi dengan kawan-kawan yang menguasai bidangnya sebelum melakukan aksi.

Dalam aksi tersebut tidak sedikit yang anarkis. Viral beberapa mahasiswi membawa poster yang jauh dari cerminan kaum terdidik yang diharapkan menjadi agen perubahan di masyarakat. Mahasiswi yang nantinya akan menjadi calon ibu bagi generasi penerus bangsa telah jauh dari kesan moral dan intelektual.

Padahal presiden telah mengakomodir masukan-masukan dari berbagai pihak, dengan sikapnya menunda pengasahan RUU KUHP melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk disampaikan kepada DPR-RI (lihat: CNBC Indonesia, 20 September 2019, "Presiden Jokowi Tunda  Pengesahan RUU KUHP").

Ironisnya, tidak cuma mahasiswa yang demo, anak-anak siswa sekolah menengah juga dilibatkan dalam aksi tersebut. Anak-anak usia dini dieksploitasi oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, diseret ke dalam zona kekerasan yang sama sekali tidak ramah anak.

Mahasiswa di sini seolah menjadi alat mobilisasi sosial-ekonomi kelompok anti pemerintah yang sah. Dominasi sikap yang seperti ini akan terus menerus melahirkan patologi psiko-sosial terutama di kalangan orang tua dan pelajar itu sendiri.

Mahasiswa telah terjangkit penyakit yang biasa disebut "penyakit diploma" (diploma disease), ialah usaha dalam meraih suatu gelar pendidikan bukan karena kepentingan pendidikan itu sendiri, melainkan karena nilai-nilai ekonomi dan sosial.

Fenomena tadi menunjukkan bahwa mahasiswa lupa akan tujuan dari belajar itu sendiri. Mereka lebih mementingkan cari panggung dan popularitas ketimbang belajar. Intelektualitas dan moralitas dikorbankan. Alih-alih berkontribusi untuk negara. Yang penting aksi, tidak peduli akibat dan siapa yang menunggangi?

Dalam masyarakat yang belum terdidik (well educated) yang tidak dilengkapi dengan tatanan ekonomi yang baik, aksi pergerakan nir filosofi dan minimnya literasi --disadari atau tidak-- kenyataannya turut andil dalam menciptakan situasi sosial politik yang kacau. Pergerakan yang sebenarnya bersumber dari kebingungan intelektual dan hilangnya identitas kebudayaan. Mereka menutupi kekurangan dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat atau bahkan kepentingan agama.  

Padahal, fenomena seperti ini tidak pernah melanda umat Islam sebelumnya dan sangat berbahaya bagi prinsip-prinsip dasar filsafat pendidikan Islam itu sendiri, yaitu mencari keridhaan Allah, bukan popularitas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline