Lihat ke Halaman Asli

Jayu Titen

Ambtenaar, Blogger,

Paradoks Laba Perusahaan, Kesejahteraan Buruh dan Pendapatan Pajak Pemerintah: Sebuah Refleksi Hari Buruh

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Sejak bergemanya Revolusi Industri periode antara tahun 1750-1850, terjadi perubahan secara besar-besaran di bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi, dan teknologi. Revolusi Industri yang dimulai dari Britania Raya gaungnya menyebar ke seluruh Eropa Barat, Amerika Utara, Jepang, dan akhirnya ke seantero jagad sehingga berdampak terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan budaya di dunia.

Revolusi Industri menandai terjadinya titik balik besar dalam sejarah dunia, hampir setiap aspek kehidupan khususnya dalam hal peningkatan pertumbuhan penduduk dan pendapatan rata-rata yang berkelanjutan dan belum pernah terjadi sebelumnya, tenaga manusia diganti dengan tenaga mesin. Sejak saat itu muncul perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur, perdagangan dan jasa lainnya hingga saat ini terus menggurita dari perusahaan nasional menjadi perusahaan multinasional melawati batas-batas teritori.

Perkembangan kapitalisme industri sejak awal abad 19 terdapat ketidak setimbangan antara tuntutan kapitalis dengan pekerja, kapitalis menempatkan pekerja sebagai sapi perah untuk meraih laba sebesar-besarnya dengan memberlakukan pengetatan disiplin dan pengintensifan jam kerja sampai 20 Jam per hari, minimnya upah, dan buruknya kondisi kerja di tingkatan pabrik pada akhirnya melahirkan perlawanan dari kalangan kelas proletar terhadap kelas borjuis. Mei menjadi hari yang sakral bagi kaum buruh seluruh dunia, karena May Day lahir dari berbagai rentetan perjuangan kelas pekerja untuk meraih kendali ekonomi-politis hak-hak industrial.

Sebuah paradoks

Pada awal tahun perusahaan selalu mentargetkan laba yang akan dicapai, kemudian pada akhir tahun buku perusahaan menyampaikan laporan keuangan dan laba yang berhasil di bukukan. Awal tahun 2015 lalu saya membaca dari media perusahaan-perusahaan go publik menyampaikan laba yang berhasil dibukukan, target laba terpenuhi bahkan jauh melebihi target, akan tetapi kenyataannya tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan karyawan dan jumlah pajak yang dibayarkan kepada pemerintah.

Undang-undang ataupun peraturan pemerintah yang berhubungan dengan buruh dibuat tidak/kurang mengakomodir aspirasi dari kaum buruh tetapi lebih mengutamakan aspirasi dari para pengusaha agar menetapkan standar gaji seminimum mungkin untuk buruh. Masalah buruh tidak akan pernah selesai seperti halnya prostitusi karena akar masalah yang sama yaitu ekonomi. Kepemimpinan saat ini membuat kondisi perekonomian buruh semakin berat, kesejahteraan buruh semakin kurang di satu sisi perusahaan terus membukukan laba yang terus meningkat, jika pemerintah tidak segera membuat kebijakan win-win solution maka dikhawatirkan akan terjadi gejolak revolusi sosial.

Paradoks lain dari terus meningkatnya laba perusahaan adalah pendapatan dari pajak pemerintah setiap tahun tidak sesuai dengan target. Saat pemerintah mengumumkan target pendapatan pajak untuk pendanaan kegiatan pemerintah melalui APBN semua pengusaha mengeluh. Pemerintah terus membukan kran untuk mengalirkan investasi dari dalam maupun lur negeri tetapi tidak sebanding dengan perolehan pajak pemerintah, ada tanda tanya besar mengapa ini bisa terjadi?

Di Indonesia, realisasi investasi yang berasal dari PMA diperkirakan terus meningkat dari tahun ketahun. Seiring dengan besarnya investasi asing yang masuk ke Indonesia, pendapatan pemerintah yang berasal pajak dari perusahaan multinasional seharusnya tinggi. Akan tetapi, kita pernah dikejutkan berita yang menyatakan bahwa 750 PMA tidak pernah membayar pajak pada tahun 2005. Perusahaan multinasional di indikasikan melakukan praktik ilegal dari kalangan perusahaan PMA untuk menghindari pajak, antara lain melalui transfer pricing, sehingga 70% perusahaan PMA yang terdaftar sebagai Wajib Pajak laporan keuangannya terlihat merugi dan akhirnya tidak mempunyai kewajiban membayar pajak.

Di balik pernyataan tersebut tentu kita bertanya, apakah perusahaan multinasional tersebut benar-benar rugi atau melakukan penghindaran pajak, sehingga tidak membayar pajak? Dan bagaimana pula peraturan perundang-undangan anti penghindaran pajak (anti avoidance) negara kita dalam menangkal skema penghindaran pajak tersebut? (darussalam).

Terkait dengan hal-hal tersebut di atas, skema-skema transaksi keuangan yang ada dalam dunia bisnis tentu juga akan menciptakan peluang bagi perusahaan untuk melakukan skema-skema transaksi penghindaran pajak dalam rangka mengurangi beban pajak mereka, apalagi jika terjadi kekosongan peraturan perundang-undangan terhadap skema-skema penghindaran pajak tersebut. Bagi perusahaan yang beroperasi secara internasional (perusahaan multinasional) kesempatan untuk melakukan penghindaran pajak lebih terbuka lagi yaitu dengan cara memanfaatkan perbedaan sistem perpajakan suatu negara (international tax avoidance).

Oase keteladanan

Baru-baru ini kita membaca berita dari negeri uncle sam tentang kebijakan yang dibuat oleh CEO Gravity Payments & Price yang layak menjadi panutan para bos perusahaan lain melalui aksi mulianya yang patut di apresiasi. Price memutuskan memangkas gajinya sendiri demi menaikkan gaji karyawan di perusahaannya dan melindungi rasa bahagia pegawainya. Gagasan untuk memotong gajinya sendiri muncul setelah dirinya membaca sebuah artikel tentang kebahagiaan. Price mengubah gagasannya menjadi kenyataan pada awal pekan ini saat dia mengejutkan 120 persen karyawannya dengan pengumuman kenaikkan gaji tersebut. Bahkan petugas kebersihan dengan gaji terkecil, customer service dan salesman juga naik hingga US$ 70 ribu.

Untuk menaikkan upah karyawannya, Price akan memangkas gajinya yang berjumlah hampir US$ 1 juta menjadi hanya US$ 70 ribu saja. Dia juga berjanji akan menggunakan 75 hingga 80 persen dari profit perusahaan untuk kesejahteraan karyawan. Memberlakukan karyawan sebagai aset, bukan sebagai beban perusahaan akan membuat karyawan bertanggungjawab dan merasa memiliki perusahaan. Dengan demikian akan semakin meningkatkan etos kerja dan laba yang diraih perusahaan.

Satu hal yang tidak boleh di lupakan dalam kehidupan sehari-hari adalah bahwa hidup bukanlah soal perkalian dan tambah menambah, hidup adalah soal bagi membagi. Apa yang kita bagi kepada orang lain tidak akan mengurangi apa yang kita miliki, justru akan membuat semakin bertambah dan terus bertambah dan kita akan semakin bahagia.

Selamat Hari Buruh

Buruh Sedunia Bersatulah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline