Kesenian yang mengandung unsur-unsur yang identik dengan dominasi maskulinitas pada akhirnya menciptakan istilah seni maskulin.
Kenyataan bahwa instrumen musik tradisi Batak Toba diciptakan khusus untuk laki-laki dan lazim di mainkan oleh kaum laki-laki, cenderung menjadikannya sebagai seni maskulin.
Sehingga secara keseluruhan seni maskulin tidak dapat dilekatkan dalam panggung seni pertunjukan Opera Batak.
Namun bagaimana jika dominasi maskulinitas dalam budaya Batak Toba yang patrilineal ditantang oleh kemunculan seorang perempuan yang secara musikalitas berhasil menyamakan kedudukannya dengan laki-laki?
Kedudukan kaum perempuan dalam setiap aktivitas masyarakat tidak dapat di pisahkan dari norma-norma kehidupan yang berlaku dalam lingkungannya.
Begitu pula yang terjadi dalam konteks seni pertunjukan, terlebih lagi figur yang mempunyai latar belakang menarik, yakni seorang perempuan dengan predikat parmusik.
Namun perlu dipahami pentingnya kehadiran figur perempuan dalam konteks Opera Batak disebabkan oleh adanya pandangan masyarakat dalam menilai kehadiran parmusik perempuan sebagai suatu hal yang tidak lazim (penyimpangan).
Anggapan bahwa parmusik perempuan dipandang kurang memahami konstruksi sosial budaya Batak yang patriarkal, kemudian mengakibatkan munculnya sikap yang menempatkan parmusik perempuan pada posisi yang tidak penting.
Setidaknya disadari 'penyimpangan' yang dilakukan oleh perempuan pada akhirnya membangkitkan kekuatan yang secara tidak sadar menjadi modal untuk pencapaian suatu prestasi.
Figur Zulkaidah Harahap inilah yang kemudian menjadi simbol tertinggi sejarah 'paropera' bagi masyarakat Batak Toba.