Lihat ke Halaman Asli

Syamsul Idul Adha

Profil bersifat sementara

Pascakolonialisme dan Bias Historiografi Indianisasi-Islamisasi Nusantara

Diperbarui: 16 Mei 2021   17:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Narasi keliru para pendukung Pascakolonial di antaranya berupaya mendistorsi kontinum dan keselarasan antara proses peradaban Indianisasi dan Islamisasi yang terkonstruksi dengan baik dalam penelitian A.H. Johns, M.C. Ricklefs, Anthony Reid, Mark R. Woodward, Zoetmuelder, Vladimir I. Braginsky, dsb. Para pendukung pascakolonial yang terdiri dari berbagai latar belakang seperti sejarawan dan filolog menuduh dalam tulisan-tulisan mereka bahwa para peneliti tersebut terjebak pada paradigma filologi kolonial dan historiografi kolonial (Florida, 1967, hlm. 1-2).

Para sejarawan pascakolonial tersebut justru yang menyebabkan bias konstruksi historiografi peradaban Indianisasi maupun proses Islamisasi di Indonesia dengan mengaburkan hubungan intertekstual dan interkultural antara Islam dan kultur Sanskerta Hindu-Buddha seperti dalam konteks Islam-Jawa dan Sinkretisme Cham Bani adanya unsur sintesis Mistis atau Sinkretisme yang terjalin melalui daya kreatif dari konsep tasawuf falsafi melalui dialektika kuktural dalam menyerap dan mengakomodasi unsur-unsur kultur pra-Islam setempat (Johns, 1961, hlm. 19).

Hal ini misalnya seperti dijelaskan Fang (2013, hlm. 142-143) terlihat dalam penggunaan nomina sacra "Dewata Mulya Raya" dalam kesusastraan Melayu peralihan ataupun adanya unsur pemujaan terhadap Kanjeng Ratu Kidul dalam teks Bedhaya Ketawang sebagai legitimasi kekuasaan bagi kraton Kasunanan Surakarta yang menurut Roy E. Jordan dalam artikel berjudul "Tara and Nyai Lara Kidul: Images of the Divine Feminine in Java," menunjukkan adanya pengaruh unsur Tantrayana melalui sosok Bodhisatva Arya Tara yang oleh para penguasa raja-raja Jawa sejak era Sultan Agung Hanyokrokusumo hubungan legitimasi kekuasaan secara niskala seperti istilah M.C. Ricklefs terus dipertahankan (Jordan, 1997, hlm. 301-302; Ricklefs, 2013, hlm. 36).

Pada dimensi yang lain sebagian pendukung Pascakolonialisme juga menghadirkan konstruksi historiografi Islamisasi Nusantara yang bias dengan menolak pengaruh secara struktur sosial peradaban Indianisasi dan menyebut peradaban Indianisasi merupakan kultur elit yang hanya dianut kalangan aristokrat (kraton), sedangkan rakyat umum masih menjalankan peradaban Austronesia. Pendapat ini ditolak oleh Paul Mus dalam artikelnya berjudul "India dipandang dari Timur: "Agama-agama India dan Asli di Kerajaan Campa" menyebut dalam konteks peradaban Champa pengaruh Indianisasi setelah era peralihan dari Vijayapura ke Kauthura dan Padurangga pada abad ke-15 M. justru memperlihatkan pengaruh peradaban Indianisasi yang sangat besar terhadap kultur rakyat secara masal (Mus, 1981, hlm. 197).

Pandangan serupa juga mengukuhkan bahwa kekalahan Majapahit-Daha oleh kerajaan Demak tidak serta merta menyebabkan kemunduran peradaban Indianisasi di Pulau Jawa, tetapi justru melalui peran Walisongo seperti Sunan Kalijaga dan Siti Jenar, unsur-unsur peradaban Jawa pra-Islam dapat dipertahankan yang terkorpus seperti di antaranya dalam Serat Bhimasuci yang merupakan hasil gubahan Yasadipura I atau teks Tattwa Jnana Nirmala Nawaruci yang disusun oleh Mpu Syiwamurti. Hal ini mengisyarakatkan bahwa upaya dekonstruksi antara pelbagai bukti arkeologis dan filologis atas kontinuum peradaban Indianisasi dan Islamisasi secara beriringan seperti yang dilakukan para pendukung pascakolonial justru dapat berimplikasi pada bias historiografi dan dapat mengaburkan peradaban Indianisasi sebagai antisenden yang telah meletakkan konstruksi peradaban bagi etnisitad suku bangsa di Asia Tenggara dan Nusantara.

Penafian terhadap peradaban Indianisasi sebagai antesenden terhadap proses Islamisasi yang berjalan sejak abad ke-13 M. secara masif seperti disarankan oleh George Coeds akan menyebabkan secara historiografi proses Islamisasi menjadi tidak memiliki konstruksi historis yang mapan dan menyebabkannya terpisah dari peradaban Indianisasi yang secara mapan yang justru lebih dekat kepada bentuk sinkretisme (Coeds, 2015, hlm. 337). Untuk itu, diperlukan kebesaran jiwa untuk mengembalikan penelitian historiografi peradaban Indianisasi dan Islamisasi di Asia Tenggara berdasarkan data-data dan bukti arkeologis dan filologis dan menyerahkannya pada otoritas kesarjanaan barat di bawah lembaga penelitian seperti EFEO dan SOAS yang telah berpengalaman dalam penelitian kesejarahan peradaban Asia Tenggara.

Sumber

Coeds, George. Asia Tenggara Masa Hindu Buddha. Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer, 2015.

Fang, Liaw Yock. A History of Classical Malay Literature. Singapura: ISEAS Publishing, 2013.

Florida, Nancy K. "Reading The Unread in Traditional Javanese Literature." Indonesia 44 (1987): 1-15.

Johns, A. H. "Sufism as a category in Indonesian literature and history." Journal of Southeast Asian History 2, no. 2 (1961): 10-23.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline