Puasa berasal dari kata dalam Sanskerta "Apwasa" yang berarti menihilkan segala kepuasan yang ditimbulkan dari kemelekatan antara Citta-Skanda (lapisan-lapisan pikiran) dan Panca-skanda (pengindera), sebab itu tujuan dari skanda adalah untuk mengendalikan atau menguasai diri.
Untuk itu dalam Kakawin Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa, untuk mencapai pengetahuan pengendalian diri (Pasupa-Sastra), Arjuna diharuskan mampu untuk mengendalikan seluruh kebutuhan pancama (kelima dasar kebutuhan manusia), dan salah satu cobaan terberat adalah mengendalikan rasa "Akulah", ketika panah yang dilepaskan Arjuna secara bersamaan melesat dengan panah yang dilepaskan oleh Sanghyang Bhatara Guru mengenai "buruan", tetapi Arjuna dengan penuh kesadaran dan rendah hati mengakui bahwa panah yang berhasil merobohkan buruan itu milik Sanghyang Bhatara Guru. Atas sikap mulia tersebut, Sanghyang Bhatara Guru menganugerahkan Arjuna pusaka Pasupa-Sastra dan sekaligus menikahkanya dengan bidadari dari Svargaloka bernama Suprabha.
Kisah ini merepresentasikan pengetahuan filosofis (Jnana), manusia untuk mencapai kesejatian, harus mampu untuk mampu melakukan pengendalian diri dengan menahan (Apwasa) relasi antara pikiran (Citta), lapisan tubuh (strula sarira), dan realitas (sad) dan menyadari bahwa semua yang dihasilkan dalam manifestasi ketiganya tidaklah hakiki. Citta (pikiran) mengecap apa yang dihasilkan oleh Panca-skanda (pengecap), seperti ketika kulit terkena api maka terasa perih, maka pengecap perih ini yang dihantarkan menjadi pikiran.
Nagarjuna dalam Hrdya-Sutra menyatakan bahwa apa yang dikecap oleh Panca-skanda ini pada hakikatnya Sunyam dari kesejatian. Artinya, Apwasa merupakan proses untuk menyadari bahwa apa yang dirasakan oleh pengecap dan ditandai oleh pikiran tidaklah merupakan kebenaran yang sejati (Suprabha). Pengetahuan tentang pengendalian diri inilah yang akan menghantarkan pikiran manusia untuk tidak terjerat oleh tujuan pemuasan hawa nafsu dan kebutuhan jasmani. Ketika manusia mampu untuk tidak lagi terjerat dan terkengkang oleh dualitas, maka manusia mencapai alam kesadaran kesejatian yang tidak terkondisikan oleh dualitas.
Pada prinsipnya Puasa (Apwasa) tidak hanya sebatas menahan tuntutan kebutuhan dasar makan dan minum belaka untuk bertahan hidup, tetapi seperti dijelaskan lebih dari itu untuk mencapai kesempurnaan diri yang tidak terjerat oleh tuntutan nafsu primordial manusia yang menghalangi manusia mencapai kondisi kesejatian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H