Konstrusi analitis dari nalar legalistik "religius" dalam menyikapi atau merespon realitas patut menjadi perhatian. "Religiusitas" atau bahkan religio yang tidak terlepas dari relasi dengan kekuasaan (dalam pengertian relasi agama dan kekuasaan dalam pandangan Michael Foucault), akan berupaya mempertahankan "ketundukan" melalui ritus-ritus dan lambang yang menjadi penanda supremasi yang mewakili model teokrasi yang dimanfaatkan dalam konteks otoritas kekuasaan keagamaan. Agama sendiri oleh Wilfred Cantwell Smith (1916-2000) dalam "What is Scripture ?" disebut berasal dari kata "religion" yang berarti ketakutan pada tuhan-tuhan "imajinatif", ketika Fredrich Nietzsche (1844-1900) berpandangan bahwa membunuh "tuhan-tuhan palsu" itu sebagai "religiusitas" dalam pengertian sebagai modus vivendi bagi legitimasi perebutan kekuasaan profan/sekuler, maka tameng kekuasaan palsu "religiusitas" yang menjerat kemanusiaan akan dapat diruntuhkan seperti pendapat Karl Marx dan Friedrich Engels (1820-1895) dan manusia dapat memahami bahwa Religiusitas yang sejati adalah yang bersemayam sebagai kesadaran spiritual adikodrati yang bersemayam dalam jiwa manusia, bukan pada pola relasi-relasi kekuasaan yang menggunakan "religion" dalam pengertian Wilfred C. Smith (1916-2000) yang oleh sebagian orang terutama para penguasa, bangsawan (aristokrat) dan para pemilik kapital diperuntukan untuk menindas dan menzalimi manusia lain yang lemah dan tidak berdaya.
Era postmodern menjadi ajang bagi pertentangan narasi (the warring of discourse) antara yang berorientasi pada nilai utilitas subjektif dengan kalangan religius puritan. Narasi pendukung nilai utilitas subjektif akan memandang konstruksi nilai religius tidak lagi relevan dengan kebutuhan, dan dapat diabaikan. Kalangan puritanis di sisi yang lain justru melihat bahwa norma religius sebagai suatu konstruksi kebenaran tunggal (dengan disertai tafsir kelompoknya sendiri) dan menolak diskursus yang memberikan konstruksi penalaran yang berbeda atau tidak sejalan dengan penafsiran yang diyakini oleh kelompoknya. Nalar puritanis yang berupaya memahami teks seharafiah yang dapat dicapai dan pengertian pasti tanpa menyisakan ruang relativitas dan diskursif, hal ini yang menyebabkan munculnya hegemoni neoliteralisme, penafsiran triumfalistik serta eksklusivisme penafsiran teks, tanpa melihat kondisi realitas yang membutuhkan pemaknaan tersendiri atas teks.
Suatu entitas kelompok sosial yang diidentifikasi dengan penalaran seperti yang telah disebutkan akan menutup diri dari konsep perenialisme, humanisme, dan inklusifisme hanya akan berinteraksi pada tataran yang terbatas secara monolistik "dengan yang seidentitas" dan akan kesulitan berhadapan dengan pluralitas keberadaan kelompok lain, dan bahkan tidak terlepas dari sentimen Xenophobia (kebencian terhadap segala yang asing) dan tidak terlepas dari rasa ketakutan ancaman keberadaan pihak lain yang berbeda terhadap status quo dan tatanan sosial yang telah dijalin. Kelompok seperti ini akan berupaya menggunakan model tatanan "legal law system" (pendekatan sistem hukum) yang bersifat primordial seperti hukum agama, dan adat-istiadat dan mengabaikan aspek "moral endogenous" sebagai faktor utama yang mengarahkan perilaku individu masyarakat seperti yang terdapat pada tatanan liberalisme dan Laissez Faire negara-negara maju. Tidak mengherankan entitas masyarakat seperti ini akan rentan terhadap isu-isu primordial seperti agama dan suku, dengan fanatisme yang tinggi sehingga mudah untuk dimanfaatkan untuk kepentingan hegemoni perebutan kekuasaan. Hal yang lain tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah dengan tingkat prevalensi rasio gini yang menunjukkan tingkat ketimpangan dalam kehidupan masyarakat yang tinggi, berdampak perilaku masyarakat yang penuh karakter kekerasan (violence) dan tanpa ragu untuk menempuh pendekatan koersif dan pemaksaan kehendak terhadap golongan lain untuk mencapai tujuan dan bukan dalam bentuk rekonsiliasi atau pendekatan yang damai. Kondisi ini membuat masyarakat akan rentan terjebak sektarianisme dan dengan mudah terlibat konflik dengan sesama apabila muncul perbedaan dalam isu-isu primordial sekalipun bersifat tidak substantif dan dapat dikompromikan.
Sepatutnya kondisi seperti ini menjadi pelajaran bahwa perlunya keterlibatan unsur teknologi dan ilmu pengetahuan seperti disarankan oleh Romer dalam "Advanced Macroeconomics" dalam membangun konstruksi peradaban masyarakat yang ditandai dengan hadirnya kebebasan individu dan peran negara melalui kepastian hukum bagi terpenuhinya hak-hak dasar warga negara baik terkait dengan terpenuhinya sarana dan prasarana dalam beribadah maupun kebutuhan-kebutuhan dasar ekonomi, akses terhadap kesehatan maupun pendidikan, dan bahkan dukungan dan sumber faktor produksi yang mencukupi bagi seluruh kalangan masyarakat baik kesempatan kerja maupun peran institusi keuangan yang inklusif dalam menopang kegiatan ekonomi masyarakat. Atas dasar itu semua nilai-nilai yang bersifat humanis perlu ditanamkan sebagai perilaku individu dalam masyarakat, sehingga akan mudah dapat berdaptasi dan bersaing di tengah lalu lintas interaksi tatanan global yang penuh keberagaman.
Sementara itu dalam tinjauan Pierre Felix Bordieau (1930-2002) teks tidak dapat terlepas dari keadaan sekitar (habitus) dimana teks tersebut disusun. Untuk alasan itu para penafsir teks berupaya memahami teks keagamaan sesuai dengan kondisi realitas masyarakat dengan melihat kesesuaiannya dengan pendekatan purposivisme. Dalam tinjauan Jasser Auda misalnya penafsiran 're-interpretasi' ini bertujuan menempatkan teks sesuai dengan konsiderasi keadaan dimana teks itu dianalisis, hal ini dapat mendorong penafsiran teks dengan makna yang lebih relevan dan praktis ketimbang mempertahankan makna yang serba harafiah (tekstual) dan memaksakannya pada kondisi yang berbeda, yang tentunya akan kontraproduktif dengan tujuan hakiki teks untuk mendorong kemaslahatan. Kedua kelompok ini adalah mereka yang tidak mampu menghadirkan penalaran berbasis etika, rasionalitas, dan kontekstualitas dalam menyikapi realitas. Mereka yang tidak dapat menempatkan religiusitas sebagai spiritualitas, bukan dalam ranah hegemoni relasi perselingkuhan antara agama dengan kekuasaan yang dijalankan melalui penindasan dan persekusi terhadap keberagaman ide.
Moralitas, rasionalitas cum kontekstualitas seharusnya menjadi epistemologi paling mendasar dalam penalaran religius umat beragama, namun sayangnya ada sebagian kalangan konservatif yang membawakan narasi kurang cerdas dan mengarah pada pelecehan terhadap kecendikiawanan maupun pengabaian terhadap keniscayaan, hal ini tidak terlepas dari pola pikir eksklusif dan normatif dalam menyikapi pluralitas realitas masalah yang dihadapi umat manusia, sehingga hanya memahami suatu bentuk kebenaran tunggal, tanpa memberikan ruang diskursus yang lebih luas bagi kemaslahatan melalui dinamisasi konstruksi tataran norma sesuai dengan tuntutan kondisi dan keadaan yang dihadapi. Purposivism (kemaslahatan) dalam ruang publik dan bukan ditujukan untuk mengedepankan hegemoni dan fanatisme primordial kepentingan golongan atau kelompok tertentu. Pendekatan purposivisme bertujuan untuk merespon permasalahan yang sangat mendasar bagi kelangsungan ras homo sapiens yang tetap memiliki tanggung jawab untuk menjaga tatanan kehidupannya beribu tahun ke depan di tengah pertarungan diskursus eskatologis pelbagai agama dan ketidakmampuan atau bahkan keengganan berhadapan dengan realitas takdir suksesi tatanan kehidupan, evolusi dan seleksi alam (natural selection) yang bisa saja berimplikasi pada dominasi identitas manusia sebagai makhluk hidup berkecerdasan hasil dari dinamika alam ekologi bumi selama +65 juta tahun.
Aplikasi terhadap epistemologi keagamaan ini bergantung pada penalaran yang bertujuan menjelaskan interaksi antara teks (nas) yang disakralkan dalam suatu tatanan agama dengan yang ditandai yang dalam hal ini adalah realitas umat beragama itu sendiri. Semua teks (signifier) memiliki hubungan dialektis dengan konteks (signified) termasuk teks yang dikultuskan yang tidak terlepas dari kultur yang menghadirkan teks tersebut. Pendekatan ini didasarkan oleh konsep Anna Wierzbicka dalam "Understanding Cultures Through Their Keywords" bahwa teks sebagai suatu produk diskursus tidak dapat terhindar dari realitas psikososial, sebab itu pada tatanan kultur yang didominasi oleh paradigma stereotipe gender akan lebih diskriminatif dalam mendeskripsikan gender wanita seperti dalam kasus Eropa abad pertengahan (medieval age) yang dalam berbagai literatur klasik kerap mengidentifikasi sosok penyihir dengan gender wanita dan sampai, dan bahkan secara berlebihan memperlakukan wanita sebagai warga kelas dua. Untuk itu memahami hubungan dialektis antara teks dan konteks sangat penting untuk dekonstruksi dan reinterpretasi teks sesuai dengan kebutuhan, sehingga tidak mengarah pada sikap rigid dan berlebihan dalam memahami teks.
Pada diskursus Islamic Jurisprudence, penerapan dari teori di atas dilakukan melalui pendekatan penalaran Istishlahi yang salah satunya dengan prosedur Tahqiq al-Manath. Tahqiq al-Manath (penalaran dalam mencari alasan-alasan sebagai tujuan hukum) melalui maqashid asy-syariah atau Hikmah at-Tasyri' tidak dapat dilepaskan dari konstruksi Tahkim (penetapan hukum) yang meliputi Shifah (Objek), ma'na munashabah, dan maqashid (tujuan) yang hubungan di antara ketiganya didasari oleh 'illat (konteks). Operasionalisasi 'illat (konteks) adalah dengan memperhatikan mundabit (kondisi yang tetap) antara 'ashl (dasar) dan furu' (cabang). Untuk itu memahami hubungan antara teks dan konteks dapat diterapkan melalui pendekatan post-strukturalis, dengan mengidentifikasi antara peran teks sebagai penanda (signifier) dan konteks sebagai yang ditandai (signified). Relasi antara kedua entitas tersebut akan dapat menghantarkan pada pemahaman hukum yang lebih konstruktif sesuai dengan kebutuhan dan tuntunan realitas yang dihadapi, sebagai konsiderasi yang tidak dapat diabaikan. Isma'il Al-Qarafi dalam Anwar Al-Buruq Syarah Al-Furuq (1/63-65) seperti dikutip oleh Ali Jum'ah dalam Kalam Ath-Thayyib Fatawa 'Ashirah setidaknya mengidentifikasi tempat (al-Makan), waktu (az-Zaman), kondisi (al-Ahwal), dan individu (asy-Syakhsin) sebagai konsiderasi dalam penalaran konstruksi hubungan teks dan konteks. Pembacaan atas hubungan tersebut dapat diterapkan dengan pembacaan-pembacaan alternatif selain pengertian tekstual (harafiah) sesuai dengan konteks yang dihadapi, tanpa harus bersikap rigid atau membatasi diri hanya pada satu varian pembacaan saja yang terkadang tidak sesuai dengan realitas atau tuntutan keniscayaan yang dihadapi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H