Lihat ke Halaman Asli

Pola-Pola Khutbah Jum'at di Indonesia

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

gambar

Secara garis besar kita mengetahui bahwa khutbah Jum’at  di Indonesia disampaikan oleh khatib dengan dua cara, yakni menggunakan bahasa Indonesia/bahasa daerah, atau disampaikan dengan bahasa Arab saja.

Untuk khotbah jum’at yang disampaikan dengan bahasa Arab, terdapat beberapa pola khotbah, yaitu :

Pertama, khatib menyampaikan khutbah dengan membaca buku yang sama pada setiap khutbah jum’at. Jadi khutbah yang dibaca oleh khatib pada jum’at sekarang, adalah khutbah yang sama dengan khutbah pada jum’at kemarin serta jum’at-jum’at sebelumnya, serta akan dibaca pula pada jum’at yang akan datang. Pola seperti inilah yang paling kuno berdasarkan tradisi turun temurun, yang mungkin pada saat ini hanya dilakukan di Masjid-masjid bersejarah peninggalan para wali, setahu saya masih dilakukan di Masjid Sang Cipta Rasa Keraton Kasepuhan Cirebon, serta dilakukan pula di beberapa Pesantren Tradisional tertentu. Buku khutbah jum’at yang dibaca biasanya adalah buku yang dibuat oleh ulama pada jaman dahulu.

Kedua, khatib membaca khutbah dengan membaca atau tidak membaca tulisan, namun isi khutbahnya lebih singkat, biasanya isi khutbah terdiri dari rukun-rukun khutbah, ditambah dengan penyampaian hadist Nabi Saw. dan beberapa nasihat dalam bahasa Arab. Bagi khatib yang membaca khutbah dengan tulisan, maka tulisan tersebut biasanya adalah tulisan khatib sendiri.

Ketiga, khatib membaca khutbah dengan membaca atau tidak membaca tulisan, dan isi khotbah hanya terdiri dari rukun-rukun khotbahnya saja.

Secara umum khotbah yang disampaikan dalam bahasa Arab didasarkan kepada pemahaman fiqih bahwa sah nya khutbah jum’at adalah jika disampaikan dalam bahasa Arab, sebagaimana Rasulullah Saw dan para sahabat berkhutbah dengan bahasa Arab. Tetapi tidak semua khatib yang berkhutbah dengan bahasa Arab mendasarkannya atas dalil seperti di atas, karena ada pula khatib yang berpendapat bahwa boleh saja menyampaikan khutbah selain dengan bahasa Arab, meski begitu, tetap khatib tersebut berkhutbah dengan bahasa Arab tanpa diterjemahkan, alasannya karena tradisi, atau karena alasan untuk menyingkat waktu. Biasanya khatib yang beralasan untuk menyingkat waktu, karena sebelum khutbah jum’at diadakan pengajian terlebih dahulu, atau pengajiannyasetelah jum’atan, yang membahas materi-materi agama Islam.

Khotbah jum’at yang disampaikan dengan bahasa Indonesia, atau bahasa daerah, maksudnya adalah penyampaian pesannya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia/daerah, sedangkan rukun-rukun khutbahnya tetap disampaikan dalam bahasa Arab, kecuali untuk rukun khutbah do’a bagi umat Islam, terkadang do’a yang dibacakan khatib dalam bahasa Indonesia/daerah, tetapi rukun khutbah yang lain seperti : Hamdallah, shalawat Nabi, wasiat taqwa, dan membaca ayat Al Qur’an, tetap dibaca dalam bahasa Arab.

Ada pun pola-pola khutbah Jum’at yang diterjemahkan adalah sebagai berikut :

Pertama, menyampaikan pesan dengan bahasa Indonesia/daerah kepada jama’ah secara panjang lebar menyangkut kondisi dan situasi terkini, baik sosial, politik, ekonomi, dll. Rukun khotbah dibaca dengan bahasa Arab, tetapi kadang-kadang do’a nya tidak dalam bahasa Arab. Pola khutbah seperti ini biasanya dilakukan di Masjid-Masjid perkotaan. Khotbah yang disampaikan bisa dengan membaca buku khotbah modern yang banyak terdapat di toko buku, atau bisa juga tulisan khatib sendiri yang dibacakan, atau khatib berkhutbah tanpa membaca teks.

Kedua, menyampaikan pesan dengan bahasa Indonesia/daerah kepada jama’ah secara singkat dan padat, semua rukun khutbah disampaikan dalam bahasa Arab termasuk do’a untuk umat Islam. Biasanya khutbah kedua dikhususkan untuk berdo’a, atau jika ada pesan untuk jama’ah yang telah diterjemahkan pun sebelum do’a pada khutbah kedua, maka biasanya merupakan kesimpulan singkat, atau bisa pula penekanan pesan dari khutbah pertama.

Ketiga, berselang antara rukun khotbah yang dibaca dalam bahasa Arab, dengan pesan yang diterjemahkan. Misalnya pada awal khutbah khatib membaca rukun khutbah hamdallah dengan lafadz yang panjang, seperti : “Alhamdulillahi Wasyukrulillahi 'ala Nikmatil Islami Wal Imani Wakafa Bihi Ma Min Nikmati. Subhanaka la 'ilmalana illaa ma 'allamtana, innaka antal'aliimulhakiim”, atau bahkan lebih panjang lagi. Kemudian setelah membaca hamdallah yang panjang tersebut, lalu khatib menyampaikan pesan berbahasa Indonesia/daerah yang kira-kira sama panjangnya dengan rukun khutbah berbahasa Arab. Lalu setelah pesan berbahasa Indonesia/daerah tersebut, diselang lagi dengan rukun khutbah shalawat Nabi berbahasa Arab, yang kemudian disambung dengan pesan terjemah lagi, dan begitu seterusnya berselang-seling antara rukun khutbah bahasa Arab dengan pesan terjemah. Pola seperti ini didasarkan atas pendapat ulama yang memperbolehkan khutbah Jum’at dengan terjemah kepada bahasa selain Arab, tetapi syaratnya harus berkesinambungan antara bahasa Arab dengan bahasa terjemahnya,  waktu  antara bahasa Arab dengan selingan terjemahnya tidak boleh terlalu lama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline