Lihat ke Halaman Asli

Jayanti Wenas

a mom who goes to her dream, travels the world and looks good doing it.

Budaya Make-up dalam Budaya Populer

Diperbarui: 2 Maret 2021   15:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Make up (Sumber: pixabay.com)

Dulu ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar, saya jarang melihat wanita yang menggunakkan riasan wajah atau make-up. Kalau ada yang menggunakkan make up, biasanya digunakan oleh wanita usia dewasa untuk hadir pada acara spesial dan khusus. 

Seingat saya pada masa itu, ibu saya hanya menggunakkan make-up ketika pergi ke pesta atau ke acara arisan dengan teman-temannya. Riasan wajah yang digunakan untuk pergi ke arisan juga hanya sebatas pensil alis dan bedak, tetapi jika Ibu hendak pergi ke pesta, maka secara khusus ia akan pergi ke salon dan meminta seseorang untuk melakukan riasan pada wajahnya, karena keterbatasan kemampuan dan alat make-up yang dimilikinya. 

Mari bandingkan dengan kondisi sekarang, saat ini kita dapat melihat wanita dari berbagai kalangan usia telah menggunakkan produk make-up diberbagai aktivitas keseharian, bahkan kemampuan mengaplikasikan berbagai produk make-up juga telah dipahami oleh kaum perempuan sejak usia dini.

Fenomena ini menunjukkan, bahwa hal bermake-up tidak lagi identik sebagai simbol tata rias yang erat penggunaannya untuk acara pesta atau acara khusus, namun makna make-up saat ini telah dianggap sebagai alat untuk mendapatkan kecantikan ideal bagi wanita di segala kalangan dan usia, serta untuk mendapatkan kepercayaan diri saat tampil di berbagai aktivitas keseharian.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini bukan semerta-merta karena masyarakat yang secara tiba-tiba ingin mengubah konsep kesadaran tentang makna make-up. 

Namun, kita sadari atau tidak, hal ini merupakan salah satu kesadaran palsu yang diproduksi dan disebarkan melalui media. Menurut Berger (2005), kesadaran palsu dapat terjadi disaat sebuah ideologi dipropagandakan, sehingga masyarakat menganggap hal tersebut sebagai sebuah kebenaran dan tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka sedang dieksploitasi dan menjadi korban. 

Media selama ini memiliki peran penting dalam menyebarkan berbagai informasi ke tengah masyarakat, namun dengan semakin berkembangnya teknologi informasi, hegemoni media dalam proses konstruksi sebuah budaya di masyarakat, dapat dibentuk dan disebarkan dengan waktu yang lebih singkat dengan kemampuan jangkauan wilayah yang tidak terbatas, sehingga produksi budaya yang disebarkan secara massal dan cepat ini membentuk sebuah budaya populer. 

Menurut Strinati (2007), budaya populer berkaitan dengan adanya determinasi media terhadap perilaku masyarakat sebagai konsumen. Wanita Indonesia telah lama menjadi konsumen berbagai produk make-up, namun hadirnya budaya populer mengenai tutorial bermake-up yang dapat diproduksi dan diakses oleh semua orang dari berbagai kalangan dan belahan dunia manapun, melalui berbagai alternatif media baru dan media sosial, nampaknya telah membentuk kesadaran palsu tentang fungsi make-up. 

Kesadaran palsu ini semakin diperkuat ketika idola atau artis yang dikagumi yang membagikan pengalaman make-up mereka, sehingga penampilan yang dihasilkan dari penggunaan berbagai produk make-up, menjadi hal yang lebih penting untuk diperhatikan dalam membangun kepercayaan diri wanita, termasuk di Indonesia. 

Seringkali saya memperhatikan, bagaimana penampilan seseorang dengan bermake-up akan lebih disukai, jika dibandingkan dengan tingkat bakat, kemampuan, dan pengetahuan yang dimiliki orang tersebut. 

Selain itu, pada saat ini pemandangan anak-anak usia dini yang menggunakkan produk make-up sangat mudah ditemui, bahkan menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka untuk saling membagikan unggahan koleksi produk make-up yang terbaru dan lengkap. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline