Lihat ke Halaman Asli

Piala Uber 1975, menyandingkannya.....

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12951321271013995579

Menulis tentang Piala Uber, sejujurnya saya merasa malu untuk mengakui kalau perhatian saya minim sekali kepada keberadaan dan kejayaan srikandi bulutangkis Indonesia. Tulisan ini saya sajikan karena saya 'ketakutan' dituduh membedakan 'gender' karena tulisan saya yang lebih banyak menyangkut Piala Thomas (hiks!).

Beruntunglah, saat ini banyak data berseliweran di internet. Berbekal ingatan saya yang minim tadi, data saya saring dan saya ringkas jadi tulisan ini. Dengan susah payah! (biar dramatis gitu ah!).

Data dan Fakta

Diberi nama sesuai nama pemain putri legendaris Inggris tahun 1930an, Betty Uber, piala ini didesain dan dibuat oleh Mappin&Webb, Regenstreet,London berupa piala perak setinggi 20 inci, dengan bentuk bola dunia dihiasi patung pemain bulutangkis putri sedang mengayun raket. Diperebutkan sebagai Piala Bergilir Kejuaraan Bulutangkis Dunia untuk Beregu Putri Antar Negara. Dipertandingkan pertama kali tahun 1957, diperebutkan per 3 tahunan sebelum akhirnya penyelenggaraannya digabung dengan Piala Thomas 1984 dan dirubah menjadi tiap 2 tahun. Sampai tahun 2010, Kejuaraan Dunia ini sudah terselenggara 23 kali.

Betul! China paling sering membawa pulang Piala ini ke negaranya, 11 kali. Disusul Jepang 5 kali, lalu Indonesia dan Amerika Serikat 3 kali, baru kemudian Korea Selatan pertama kali membawa pulang Piala ini 2010 yang lalu.

Indonesia pemegang rekor dalam keikutsertaan pada putaran final bersama Jepang 19 kali, disusul Denmark 15 kali, baru China, Korea Selatan dan Inggris 14 kali.

Indonesia juga pemegang rekor sebagai 'runner up' 7 kali (kata orang yang sinis: "terlalu sering terjungkal di final" atau "spesialis nomer 2"), disusul Korea Selatan 5 kali, lalu China dan Denmark 3 kali.

Indonesia 1975

Mengawali keikutsertaan di Piala Uber sejak 1963, berturut2 kalah di babak pertama "play off", oleh Inggris 2-5 (1963) dan oleh Jepang 2-5 (1966). [caption id="attachment_85019" align="alignleft" width="300" caption="Piala Uber sumber: Google"][/caption]

Indonesia baru diperhitungkan secara serius sebagai calon juara ketika legenda Indonesia Minarni (kemudian menjadi Minarni Sudaryanto) menjadi runner up All England 1968 (kalah di final oleh Eva Twedberg, Swedia) dan berpasangan dengan Retno Kustiyah ditahun yang sama mengalahkan pasangan Jepang Hiroe Yuki/Noriko Nakayama dan menjadi juara. (Jadi, tahun 1968 itu Indonesia membawa pulang 2 gelar juara, karena Rudy Hartono untuk pertama kalinya menjadi juara All England).

Dengan tulang punggung 2 srikandi itu Indonesia mencapai final berturut-turut di tahun 1969 dan 1972. Namun berturut-turut pula kalah oleh tuan rumah Jepang 6-1.

Di tahun 1975 itu secara kua-teknis kemampuan 2 srikandi itu sudah menurun. Retno Kustiyah bahkan sudah mengundurkan diri. Tapi Indonesia mampu 'melahirkan' bintang2 baru. Pasangan Theresia Widiastuti/Imelda Wiguna berhasil masuk final All England (kalah oleh pasangan Machiko Aizawa/Etsuko Takenaka). Dan tunggal utama Indonesia, Utami Dewi 24 tahun sedang menunjukkan grafik prestasi menanjak. Minarni yang praktis sudah mengundurkan diri dipanggil kembali untuk memperkuat sektor ganda bersama Regina Masli.

Indonesia dilanda euforia dan demam Piala Uber, apalagi kejuaraan berlangsung di Jakarta!. Meskipun secara teknis dan di atas kertas Jepang masih lebih unggul, tapi itu tipis sekali. Putri-putri Jepang itu juga harus menghadapi lawan lain yang sama seriusnya: hawa panas daerah tropis, pengapnya Istora dan......supporter fanatik tuan rumah!

Perjalanan ke final

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline