Ini perjalanan yang tak direncanakan. Namun setelah melakukannya, kami pun seolah tak percaya bahwa perjalanan dari Kota Bengkulu Provinsi Bengkulu ke
Pangururan, Kabupaten Samosir Provinsi Sumatera Utara bisa ditempuh dalam tempo 24 jam! Mungkin kami bukan yang pertama, tapi ini pengalaman pertama saya yang luar biasa.
Perjalanan ini dipicu rasa cemas dan was-was. Pasalnya, perjalanan dari Kota Bengkulu ke Pangururan bukan jalan-jalan biasa atau dalam rangka mudik Lebaran. Keberangkatan kami ke ibukota Kabupaten Samosir itu dalam rangka melihat orang tua kami (bapak) yang jatuh sakit.
"Kami baru tiba di Pangururan, bapak masuk rumah sakit," suara mamak (ibu) melalui sambungan HP yang segera mengusir rasa kantuk. "Tolong ambil kartu BPJS dan KK, titip sama rombongan bapa uda-mu yang mau ke Samosir pagi ini," pinta mamak dengan suara setengah terisak.
Setelah percakapan beberapa menit saya memeriksa jam pada handphone. "Jam satu pagi," saya membatin. Kabar buruk dari jauh itu membuat saya tak lagi mampu memejamkan mata. Segera saya bangkit dan bergegas menuju rumah orang tua yang berjarak sekitar 15 menit perjalanan dengan kendaraan bermotor. Pukul 03.00 WIB, kartu BPJS dan KK sudah saya serahkan kepada rombongan paman yang memang sudah berencana pulang kampung hari itu (4 Juli 2016).
Setelah fajar meninggi, kabar dari Pangururan silih berganti. Sekali kabar baik: kondisi bapak agak membaik. Beberapa jam kemudian ditanya, kabarnya tak sedap: kondisi bapak tidak ada kemajuan. Jawaban ibu dan kerabat yang kami tanya pada waktu yang tak berjauhan kerap berbeda hingga membuat saya minta disambungkan langsung dengan dokter yang menangani bapak.
Pada Selasa (5 Juli 2016) sekitar pukul 10.00 WIB, saya akhirnya bisa langsung berkomunikasi dengan dokter. Dokter membeberkan sakit-sakit yang diderita bapak. Mulai kadar gula yang naik, luka pada ginjal, infeksi lambung, dan beberapa sakit lain yang menurut dokter bapak kemungkinan besar harus menjalani transfusi darah. Jika langkah itu diambil, maka tindakannya tidak di Panguruan, tapi harus dirujuk ke Siantar atau Medan.
Tubuh saya bergetar membayangkan kondisi bapak. Apalagi malam sebelumnya, adik yang paling bungsu sempat merekam percakapan dengan videocall. Dia bilang bapak tampak lemas. Hidung dan mulutnya sudah dipasang selang. Dalam kecemasan dan pikiran yang berkecamuk, kami putuskan berangkat ke Pangururan hari itu juga.
Waktu menunjukkan sekitar pukul 19.15 WIB ketika mobil toyota avanza yang kami tumpangi bergerak meninggalkan rumah tulang (paman) yang sengaja kami singgahi mohon doa restu. Kami sepakat mengambil rute Linggau, Sumatera Selatan-Sarolangun, Bungo, Jambi daripada via Mukomuko-Padang-Sumut. Sebab mesti via Mukomuko lebih cepat, tapi kondisi jalan via Linggau jauh lebih bagus. "Waktu tempuhnya nggak selisih jauh," kata adik ipar saya yang sebenarnya juga baru tiba di Bengkulu membawa muatan jeruk Berastagi dengan truknya.
Kami tiba di Kota Curup sekitar pukul 20.30 WIB, singgah di rumah tante (adik perempuan ibu), juga mohon pamit dan doa bagi kesembuhan bapak dan keselamatan perjalanan saya, istri, anak, adik dan ipar. Usai menyeruput kopi hitam dan teh manis hangat buatan tante, kami meninggalkan Kota Curup sekitar pukul 23.00 WIB.
Lewat pukul 07.00 WIB, Selasa (5 Juli 2016), mobil kami sudah merayap di tepi Danau Singkarak. Setelah membeli bantal hasil kerajinan tangan warga sekitar, kami meluncur deras melewati Solok, Padang Panjang, dst. Sore sekitar pukul 15.00 WIB, kami sudah menjejak di Madina (Mandailing Natal), Tapanuli Selatan. Setelah melewati Sipirok, petang sekitar pukul 18.00 WIB, kami istirahat mandi. Kami makan malam di Siborong-borong sekitar pukul 20.00 WIB.