Di sebuah desa yang terpisah oleh sungai lebar, terdapat dua kampung yang jarang berinteraksi satu sama lain. Di sisi utara, anak-anak menghabiskan hari-harinya dengan bermain di ladang, sementara di sisi selatan, mereka lebih sering terlihat di pesisir, membangun istana pasir. Sungai yang memisahkan mereka bukan hanya pembatas fisik, tetapi juga simbol dari perbedaan yang lebih dalam yang sudah berlangsung turun-temurun.
Namun, di antara kedua kampung itu, terdapat seorang laki-laki tua bernama Pak Malik. Pak Malik telah menghabiskan bertahun-tahun di kedua sisi sungai dan memahami betapa pentingnya kedua kampung itu saling memahami dan menghargai satu sama lain. Dia memutuskan untuk membangun sebuah jembatan kayu, dengan harapan bahwa jembatan itu bisa menghubungkan tidak hanya dua sisi sungai, tetapi juga hati orang-orang yang tinggal di kedua kampung tersebut.
Setiap hari, Pak Malik bekerja keras memotong kayu, mengukur dan memaku papan satu demi satu. Banyak penduduk dari kedua sisi yang skeptis. Mereka tidak percaya bahwa jembatan itu akan berguna atau bahkan bertahan lama. Namun, seiring waktu, beberapa anak muda mulai tertarik dan membantu Pak Malik.
Di antara mereka adalah Lia dari utara dan Dayu dari selatan. Awalnya, mereka bekerja bersama karena kewajiban, namun lama-kelamaan mereka mulai berbagi cerita tentang kehidupan di kampung masing-masing, tentang festival panen di utara dan tentang upacara laut di selatan. Mereka menyadari bahwa meski berbeda, banyak keindahan dalam perbedaan itu.
Setelah beberapa bulan, jembatan itu selesai. Hari itu menjadi perayaan besar, dengan makanan dan musik dari kedua sisi sungai. Orang-orang yang awalnya skeptis kini berjalan di atas jembatan, bertukar cerita dan tawa. Anak-anak berlari kesana-kemari, mengajarkan satu sama lain permainan yang berbeda.
Lia dan Dayu, berdiri di tengah jembatan, melihat ke sisi kampung masing-masing. Mereka tersenyum, menyadari bahwa jembatan ini adalah lebih dari sekadar konstruksi kayu; itu adalah simbol persahabatan dan pemahaman.
Pak Malik, berdiri di kejauhan, mengamati semua ini dengan senyum puas. Jembatan kayu itu, meski mungkin tidak bertahan selamanya, telah membuka jalan baru bagi generasi yang akan datang untuk membangun lebih banyak jembatan, baik secara harfiah maupun dalam arti kiasan.
Dengan demikian, jembatan kayu Pak Malik tidak hanya menghubungkan dua sisi sungai, tetapi juga telah menyatukan dua dunia yang selama ini terpisah, mengajarkan kepada mereka bahwa jembatan yang paling kuat adalah yang dibangun dari pemahaman dan persahabatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H