Rara menutup bukunya perlahan, menatap lembayung senja yang mewarnai pantai Kuta dengan gradasi oranye dan ungu. Sisi lain dari tempat duduknya, kosong. Seharusnya ada seseorang di sana---Ardi, pria yang telah mengisi hari-harinya sejak tiga tahun lalu.
"Buku apa yang kau baca kali ini?" suara lembut itu terdengar, menghentikan lamunannya.
Rara menoleh dan tersenyum. "Ah, kamu datang," katanya, sambil menunjukkan sampul bukunya. "Ini, 'Senja dan Pagi'. Lagi."
"Kau dan buku-buku romansa klasikmu," gumam Ardi sambil duduk di sampingnya.
Mereka berdua diam sejenak, membiarkan suara ombak mengisi keheningan. Rara memulai pembicaraan, "Tahukah kamu, ada satu kutipan yang selalu teringat olehku, 'Ketika hati dan dunia berbicara, bahasa yang digunakan adalah cinta'."
Ardi mengangguk, seolah memahami setiap kata yang Rara ucapkan. "Dan aku mendengarnya setiap kali kita bersama. Apakah itu juga cinta, Rara?"
Rara merasa detak jantungnya berpacu. "Mungkin," jawabnya, seraya menunduk, menatap pasir yang dibasahi air laut.
"Tapi mengapa 'mungkin'? Apa yang membuatmu ragu?"
Rara menghela nafas, memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Karena setiap kali aku membaca buku ini, aku merasa seolah-olah aku dan kamu adalah dua karakter di dalamnya, terpisah oleh halaman yang belum kita baca."
Ardi tersenyum, mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan Rara. "Mungkin kita tidak perlu takut pada halaman yang belum terbaca. Mungkin, halaman itu adalah dimana kita bisa menulis kisah kita sendiri, bukan hanya mengikuti kisah yang sudah ada."
Rara merasa sebuah kehangatan menyelimuti hatinya. "Kau selalu tahu apa yang harus dikatakan untuk membuatku merasa lebih baik," ucapnya, tersenyum lebar.