Lihat ke Halaman Asli

Cinta dan Masa Depan Absolut Manusia

Diperbarui: 18 April 2017   08:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

RESUME DISKURSUS STUDIA HUMANIKA SALMAN ITB

Tema               :           Cinta dan Masa Depan Absolut Manusia

Pembicara       :           Acep Iwan Saidi

Tempat            :           R. Back Office Lt. 2 Salman ITB

Waktu             :           Jumat, 07 April 2017

Acep Iwan Saidi yang menjadi pengampu diskursus pekan ini, meminjam sebuah frasa dari Jhon D. Caputo yang menjelaskan tentang adanya dua masa depan, dalam buku On Religion (2001), yakni: masa depan sekarang (Future Present) dan masa depan absolut. Masa depan sekarang adalah suatu masa depan yang dapat direncanakan sedangkan masa depan absolut merupakan masa depan yang tak dapat diramalkan sebelumnya. Masa depan absolut adalah masa depan yang mengejutkan tetapi esensinya sudah pasti karena telah ditentukan oleh Tuhan. Salah satunya, menurut Saidi, yang menjadi masa depan absolut adalah cinta.

Cinta menurut Badiou yang dikutip oleh Piliang merupakan sebentuk kapasitas manusia paling sublime dalam membangun hidup baik, karena cinta merupakan perjumpaan yang sepasang (the two). Melalui perjumpaan sepasang tersebut, laki-laki/perempuan akan menemukan ‘kebenaran’ dalam mengkonstruksi atau merangkai kemungkinan dunia bermakna, ditempuh melalui kesetiaan pada peristiwa perjumpaan yang ditopang diatas fondasi mutual kebaikan bersama.

Saidi berpendapat frasa “perjumpaan yang sepasang” ini senada dengan apa yang ditulis dalam al- Qur’an, bahwa manusia esensinya diciptakan berpasang-pasangan (Lihat QS. An- Nisa ayat 1; an- Nahl ayat 72; al- Fathir ayat 11). Dengan kata lain pasangan tersebut adalah satu, sebab sejak awal penciptaanya memang hanya satu (Adam). Implikasinya pada cinta sebagai perjumpaan “yang sepasang” adalah bahwa hakikatnya perjumpaan tersebut merupakan proses pengembalian ke situasi awal  serta peleburan sifat duniawi (fisik laki-laki dan perempuan) kedalam yang hakiki.

Terdapat pula sebuah hadits yang mejelaskan bahwa suami yang akan kembali ditemui istrinya di akhirat nanti adalah suami terakhir yang berpisah karena kematian. (Lihat: al-Mu’jam al-Ausath: 3/275. Dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 2704 & 6691). Dengan demikian cinta merupakan sebentuk entitas yang mengembalikan pasangan menjadi satu, Saidi menyebutnya sebagai awal “yang tunggal”. Karena cinta merupakan takdir yang ditentukan oleh Allah sejak awal, bukankah secara fisik Hawa (Eva) diciptakan dari tulang rusuk Adam?

Perjumpaan yang sepasang tersebut memang sejak awal sempat berpisah, sebagaimana kisah Adam dan Hawa. Setelah memakan buah khuldi (Buah terlarang), Adam dan Hawa dikeluarkan dari surga. Lalu mereka di tempatkan pada suatu tempat yang berjauhan di Bumi, kemudian keduanya saling mencari selama perjalanan hidupnya, mencari dalam artian perjalanan menemukan tulang rusuk yang hilang bagi Adam serta kembali pada tubuh awal bagi Hawa.  

Namun, terdapat hal yang menarik dimana sebab terpisahnya yang sepasang –Adam dan Hawa- dikarenakan sebuah objek yang bersifat material, yakni buah terlarang. Padahal esensinya, menurut Saidi, Tuhan bisa saja menciptakan objek yang lain yang tak kasat mata. Objek material tersebut, yang memesona melalui indra penglihatan, dimanfaatkan oleh iblis menjadi sarana untuk menggoda. Pilihan ini, kembali menurut Saidi, tentu bukan kebetulan karena Tuhan pasti memiliki rencana dan kehendak lain. Saidi menjelaskan bahwa dalam perspektif semiotika, hal tersebut bisa saja dibaca sebagai penanda; sebuah isyarat bahwa yang memesona mata sesungguhnya adalah yang memisahkan; bersifat fatamorgana.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline