Merasa gelisah karena muncul isu Rancangan Undang-Undang HIP? Atau sebaliknya, merasa senang dengan RUU Haluan Ideologi Pancasila tersebut?
Kalau jawaban anda "Ya," yang manapun pilihannya, saya ucapkan "Selamat!" Berarti Anda masih punya hati nurani. Masalah yang mana pilihanmu, gelisah atau senang, itu relatif. Tergantung lebih di sisi mana Anda berdiri dan lebih dari sudut pandang apa Anda melihat sebuah masalah.
Relativitas, namun, tentu saja bukan hanya monopoli dari sikap kita. Banyak juga masalah yang kita sikapi sifatnya undebatable, tak bisa diperdebatkan. Semua orang yang masih normal sepakat tidak setuju terhadap perkara korupsi, contohnya. Bahkan koruptornya sendiri tidak akan pernah menyetujui perbuatannya.
Dalam kasus peredaran narkoba, contoh lain, tidak akan pernah ada perdebatan, pro dan kontra. Semua orang waras akan setuju bahwa penyelundup atau pengedar narkoba harus mendapatkan hukuman setimpal.
Merasa gerah dan tidak setuju, bahkan marah, atau sebaliknya suka dan setuju terhadap sesuatu merupakan hal lumrah dan manusiawi. Dalam perkara-perkara tertentu yang luar biasa, bahkan, harus menjadi keharusan.
Masalahnya adalah: bagaimana sebaiknya sebagian orang mengungkapkan kegelisahannya jika menyesalkan mengapa harus ada RUU HIP; atau sebaliknya, bagaimana sebagian yang lain mengekspresikan antusiasmenya menyambut RUU tersebut. Ya, melalui kritik jawabannya. Tentu saja kritik yang elegan, kritik yang tidak hanya korektif tapi juga konstruktif dan solutif.
Kritik pun bisa disampaikan melalui berbagai cara. Mulai dari orasi di jalanan, obrolan di warung kopi, talkshow atau debat di televisi, sampai pembahasan di parlemen. Sebagai penulis, kita tentunya menyampaikan kritik lewat artikel opini, esei atau feature. Kritik terhadap isu yang kita (tidak) setujui bisa disampaikan melalui tulisan. Salah satunya melaui tulisan eksposisi.
Baca: Mengenal Genre Tulisan
Manfaat Mengkritik lewat Tulisan
Ada beberapa manfaat jika kita menggunakan tulisan, khususnya tulisan eksposisi. Kritik lewat tulisan eksposisi akan lebih diterima oleh si penerima kritik. Alasannya adalah eksposisi disampaikan melalui paparan alur argumen yang logis, penyajian fakta dan data yang sulit terbantahkan, sehingga penyampaian kritik melalui tulisan eksposisi akan lebih berdampak dan berpengaruh terhadap target kritik.
Jika kita mengkritik melalui tulisan, kita punya kesempatan untuk lebih berencana dalam narasi, lebih berhati-hati dalam memilih diksi dan lebih bertanggung jawab dalam menggali isi. Sehingga kita akan terhindar dari tindakan spontan dan sporadis yang cenderung emosional dan irrasional, seperti membakar simbol-simbol yang akan menimbulkan masalah baru ketimbang menyelesaikan masalah yang sedang berkembang.