Lihat ke Halaman Asli

Ada Enam Pocong di Kamarku

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kami berjalan bertiga memasuki hotel itu, tepatnya penginapan. Bentuk bangunannya seperti ruko(rumah toko) yang kemudian di modifikasi sedemikian rupa hingga menjadi tempat menginap. Pak Didi dan Pak Udin menemani aku hingga di depan resepsionis. Pak Didi lah yang memesan kamar, karena sebagai tuan rumah di kota itu. Setelah bertanya ini itu, akhirnya diserahkanlah sebuah kunci kamar. Dengan ramah Mas resepsionis itu mengulurkan tangan memberikan kunci itu.  Memang demikian sepatutnya, sebagai servis kepada setiap tamu yang hendak menginap, termasuk kepada kami bertiga. Tapi aku merasakan senyum Mas resepsionis itu agak berlebihan, seperti senyum karena melihat sesuatu yang lucu, mendekati tertawa. Dia tersenyum sambil matanya menatap ke arahku, seolah-olah mencari sesuatu, ya...mencari responku. Sekilas memang agak aneh, tapi persepsi akan keanehan itu kutepis saja.

"Makasih, Mas", jawabku sambil kuraih kunci kamar itu dan melangkah ke arah yang ditunjukkan.

Tapi kemudian aku berbalik arah, kembali menemui kedua temanku tadi. Pak Didi dan Pak Udin sedang bercakap-cakap di dekat pintu masuk.

"Pak, ayo kita ke kamar dulu, ceritanya disambung di kamar aja", ajakku kepada kedua orang temanku itu.

"Makasih,Pak!, saya langsung aja. Sudah malam, istri saya di rumah sendirian". Pak Udin menolak ajakkanku sekalian minta pamit.

"Ya udah kalo gitu,Pak. Wah, terimakasih sudah diantar kesini Pak Udin. Maaf sudah merepotkan, salam sama ibu dirumah ya".

"Ah, gak papa, mari,Pak!", Pak Udin pamit dan langsung meninggalkan kami berdua.

"Pak Didi, mau nginap juga khan?, ayo Pak kita ke kamar", Ajakku.

"E..e...saya gak jadi aja, Pak. Biarlah saya nginap di rumah saja. Besok, pagi-pagi saya harus ngantar anak ke sekolah, Pak". Pak Didi juga ikut-ikutan nolak ajakanku.

Setelah ngobrol sebentar, maka Pak Didi juga minta permisi untuk pulang. Memang waktu sudah menunjukkan tengah malam, pukul 24.30. Setelah mengantar kepergian Pak Didi pulang, akupun masuk kembali dan langsung menuju kamar yang ditunjukkan oleh Mas resepsionis tadi. Ketika aku berjalan menuju kamar, aku melewati meja resepsionis dan aku melihat Mas resepsionis itu masih berdiri di situ. Sekali lagi aku menegurnya dan permisi untuk masuk ke kamar. Mas resepsionis itu mengiyakan dan sambil tersenyum. Tapi...senyumnya seperti senyum yang tadi. Senyum karena melihat sesuatu yang lucu, senyum yang agak tertawa."Ah...sudahlah!, lebih baik aku langsung masuk kamar dan mandi", pikirku. Memang malam itu udaranya serasa panas, dan mandi adalah jalan terbaik untuk menghilangkannya. Tidur dengan kondisi setelah mandi pastilah lebih segar.

Ku balik papan kecil gantungan kunci kamar yang ditanganku itu, angkanya yang tampak adalah 114. Syukurlah angkanya 114, bukan 13. Kalau angka 13 kan serem jadinya, seperti yang diyakini oleh banyak orang, bahwa angka 13 adalah angka keramat. Banyak hotel atau penginapan yang tidak menggunakan angka 13 untuk meandai kamarnya, hanya karena keramatnya angka itu. Biasanya mereka melewatkan angka 13, dan dari kamar 12 langsung ke kamar nomor 14.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline