[caption id="attachment_155691" align="aligncenter" width="620" caption="Gedung DPR (KRISTIANTO PURNOMO/KOMPAS IMAGES)"][/caption] Membaca tentang Studi Banding yang dilakukan oleh anggota dewan dalam rangka pembahasan RUU Pangan dan RUU perlindungan dan pemberdayaan Petani, dimana sebagai tujuannya adalah negara maju yaitu Jepang dan negara dengan populasi 1,1 M, India. Mengapa kedua negara tersebut yang menjadi tujuan, tepatnya saya juga tidak mengetahui. Akan tetapi jikalau saya boleh menebak-nebak maka ada beberapa alasan yang mungkin sama dalam pengusulan program para anggota dewan tersebut. Jepang dengan wilayah pertanian yang kurang dari 25% dari total wilayah negaranya ternyata mampu mengelola "dapur"-nya tersebut dengan baik. Sementara India, mampu melakukan lompatan berarti dalam bidang pertanian. Dari ketergantungan akan import beras pada kurang lebih 30 tahun lalu, kini menjadi negara dengan produksi beras yang surplus dan mengeksport berasnya ke seluruh dunia. Sebenarnya apa yang telah dilakukan oleh kedua negara tersebut sehingga mampu mengolah lumbung pangannya menjadi semakin baik dan semakin baik. Berbeda dengan negara kita tercinta ini yang memiliki lahan pertanian yang demikian luas, tanah subur dan makmur dan petani yang demikian berpengalaman dengan jumlah yang sangat besar. Adalah sebuah kewajaran, jika kemudian para wakil rakyat itu pergi belajar dan berguru kepada saudara tuanya juga kepada teman senegaranya "Sharukh Khan" itu. Indonesia pernah mengalami surplus beras sekitar pertengahan tahun 80-an, hanya bertahan kurang lebih dua tahun dan kemudian menjadi pengimport beras dalam jumlah besar kemudian istirahat mengimport beras karena regulasi pemerintah saat itu melarang import beras. Dan pada data 2009, indonesia mengalami surplus kembali, namun hingga kini negara kita ini masih tetap mengimport beras. Mengapa India mengalami lonjakan prestasi dalam hal pangan dan pemberdayaan petani?. Mereka telah melakukan sebuah revolusi dalam bidang pertanian, yaitu yang dikenal dengan revolusi hijau yang didukung oleh program Cyber Extension. Pemerintah India telah melaksanakan suatu program yang tepat guna dan nyata. Yang paling menarik adalah, pemanfaatan Internet sebagai sarana komunikasi dalam pelaksanaan program tersebut dan bahkan internet menjadi yang paling pokok dalam program tersebut. Mereka mendirikan warung-warung informasi di setiap desa, pemerintah menyediakan pusat informasi website yang dapat diakses dengan mudah oleh seluruh petani di India dalam waktu yang sangat singkat. Petani selalu mengetahui perkembangan bibit terbaru, jalur distribusi, harga terkini, pola pengelolaan pertanian terbaru bahkan cuaca serta iklim untuk menentukan jenis tanaman yang akan ditanam serta saat-saat yang tepat dalam hal pemupukan dan lain sebagainya. Hal ini terjadi begitu simultan dan sinergis, walau segala macam kendala pastinya juga ada. Namun program tersebut telah membuktikan dengan hasil yang dirasakan saat ini. Menurut salah satu ahli pertanian dari India yang datang ke Indonesia dan membawakan materi tentang hal ini dalam sebuah seminar mengatakan, keberhasilan dalam hal pangan di India dilakukan melalui proses yang panjang dan bukanlah sebuah hasil yang tiba-tiba muncul dalam sekejap. Saya kira, Cyber Extension inilah "ilmu" yang akan dibawa pulang oleh para anggota dewan itu setelah berguru ke negeri sejuta film itu. Sementara, Jepang adalah negara maju yang telah mengelola pertaniannya dengan sangat modern untuk ukuran bangsa Indonesia. Kemudian apa yang akan dipelajari disana oleh para anggota dewan yang terhormat itu?. Dalam setahun, petani jepang mengelola lahan pertaniannya hanya satu kali saja, yaitu di musim panas saja. Jepang memiliki empat musim dalam setahun, coba bandingkan dengan petani di negara ini yang dapat mengelola lahan pertaniannya kapan saja. Dalam bidang pertanian, Jepang telah memperhitungkan kebijakan pemerintah untuk jangka panjang. Yaitu di mulai dengan kebijakan pemerintah, Peraturan Nasional tentang Konsolidasi (penyatuan) lahan tahun 1961. Kebijakan diambil karena kepemilikan lahan saat itu terpecah-pecah dan luasannya kecil sehingga tidak efektif, kebijakan ini berlaku secara nasional dan wajib bagi seluruh petani di Jepang. Kemudian apa yang dapat di tiru dari sistem pertanian di Jepang?. Kalau di Indonesia ada Koperasi Unit Desa (KUD), maka di Jepang ada Japan Agriculture Cooperative (JA Cooperative). Sebenarnya di Jepang banyak berdiri lembaga-lembaga seperti koperasi ini namun yang paling berperan adalah JA Cooperative. JA Cooperative pada awalnya adalah lembaga yang dibuat oleh pemerintah Jepang dengan tujuan untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan pendapatan petani. Agar program ini berhasil maka semua petani harus menjadi anggota lembaga ini. Dan saat ini JA Cooperative telah menjadi besar dan berdiri sendiri serta benar-benar terlepas dari pemerintah. Namun demikian kerja sama dengan pemerintah semakin meningkat. Cakupan kerja JA Cooperative ini meliputi pendampingan dan pendidikan bagi para petani, distribusi dan pemasaran hasil pertanian, penyediaan sarana produksi, sebagai Bank, sebagai badan asuransi, dan pelayanan kesehatan kepada masyarakat khususnya petani. Semua cakupan kerja JA Cooperative itu juga sekaligus sebagai jaminan kepada petani dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan bertanggungjawab. Keberadaan JA Cooperative ini sangat membantu program pemerintah dalam bidang pertanian oleh karena itu selalu mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Indonesia memiliki Koperasi Unit Desa (KUD), dengan belajar dari apa yang telah dilakukan oleh JA Cooperative di Jepang, maka KUD juga dapat menjadi lembaga yang besar dan vital bagi bangsa ini jika ada niat baik dan semangat untuk memberdayakan dan memaksimalkan kerjanya. Bukan untuk menggurui para wakil rakyat yang akan melakukan studi banding, namun tulisan ini sebagai kepedulian saya terhadap tanah kelahiran yang jauh di pelosok kampung. Tulisan ini sebagai kabel penghubung kepada kenangan akan keluhan-keluhan para petani, termasuk bapak saya. KUD yang mulai ditinggalkan pengurusnya, pupuk yang kadang langka di pasaran, biaya kelola sawah yang "kembali modal" saja dengan hasil panen. Akhirul kalam.....semoga para wakil kami yang terhormat akan membawa ilmu yang manfaat bagi bangsa ini saat mereka pulang. Semoga perjalanan beliau-beliau lancar dan selamat hingga di tempat tujuan dan demikian pula saat kembali pulang hingga sampai dirumah. Semoga tidak ada aral melintang, sehingga tertunda kepulangannya walau hanya dua atau tiga hari. Apatah lagi harus mengambil perjalanan memutar, sehingga harus singgah di Hongkong atau Singapura hanya karena maskapai yang melakukan delay tanpa pemberitahuan sebelumnya. Merdeka......... Salam Kompasiana....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H