Lihat ke Halaman Asli

Jauza Zahira Adhiana

Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Perempuan, Politik, dan Kesetaraan Gender

Diperbarui: 9 Desember 2022   17:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Demokrasi menekankan adanya persamaan hak dan pemenuhan kewajiban yang sama bagi tiap warga negaranya baik laki-laki maupun perempuan, terutama dalam hal menyampaikan aspirasi dan pengambilan keputusan. Berdasarkan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu mengatur agar komposisi penyelenggara Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30%. Akan tetapi, pada periode 2019-2024 per Januari 2021 hanya terdapat 123 jumlah perempuan di DPR RI atau sekitar 21,39 Persen. Dengan demikian masih tergolong di bawah target yang diamanahkan.

Ketika keterwakilan perempuan sedikit dalam kursi pemerintahan, maka perspektif perempuan akan hilang dan tidak terwakilkan. Pada realitasnya 49,42 persen perempuan dari jumlah penduduk di Indonesia butuh diwakilkan suaranya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ketika laki-laki yang mendominasi di kursi pemerintahan, akan tercipta suatu sistem sosial yang disebut patriarki. Dalam buku Bressler, Charles E. Literary Criticism: An Introduction to Theory and Practice 4th-ed disebutkan bahwasanya patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti. Budaya patriarki harus dihilangkan, dan partisipasi perempuan dalam politik harus terus diperjuangkan agar nantinya terbentuk kesetaraan gender dalam demokrasi (gender democracy).

Kontroversi masyarakat terkait adanya perempuan di kursi pemerintah mengemuka sejak era reformasi ketika Megawati Soekarnoputri hadir sebagai presiden perempuan pertama dan satu-satunya di Indonesia sampai saat ini. Banyaknya pro dan kontra akan kepemimpinannya sebagai presiden perempuan muncul dari berbagai lapisan masyarakat. Perjalanan kariernya pun penuh tantangan yang berliku. Namun, hal tersebut membuktikan bahwasanya seorang perempuan mampu berpartisipasi dalam politik hingga membawa dirinya ke posisi tertinggi. Megawati Soekarnoputri dan tokoh nasional perempuan terdahulu dapat dijadikan inspirasi bagi kaum perempuan untuk ikut serta menjadi bagian penting di kursi politik Indonesia.

Diskriminasi gender terhadap perempuan seringkali terjadi dalam kehidupan sehari-hari, di bidang manapun khususnya bidang politik. Stereotype masyarakat yang terlanjur melabeli perempuan belum mencukupi kapabilitas yang sederajat dengan laki-laki di kursi pemerintahan menjadikan adanya keraguan-keraguan masyarakat ketika seorang perempuan maju mencalonkan diri. Pelabelan inipun bisa saja mempengaruhi pemikiran perempuan itu sendiri. Perempuan yang disebut sebagai makhluk sensitif dan lemah lembut haruslah membuktikan diri bahwa satu kursi pemerintahan yang didudukinya bisa mensejahterakan rakyat dengan caranya. Perempuan harus terfokus pada standar kualitas dirinya agar mencapai suatu masyarakat yang tidak ada lagi diskriminasi gender di dalamnya.

Kesetaraan gender di bidang politik harus terus diperjuangkan, karena yang mempengaruhi kepemimpinan seseorang bukanlah gendernya, melainkan kualitas, visi-misi, program kerja, serta track record-nya. Di era saat ini, menjadi seorang perempuan yang luas wawasannya dan cerdas pola pikirnya merupakan suatu keharusan. Kesetaraan genderpun tidak berlaku hanya untuk kaum perempuan saja, melainkan berlaku juga untuk laki-laki dan berbagai kalangan masyarakat agar dapat mewujudkan asas-asas demokrasi yang menjadi poin penting bagi kesejahteraan Indonesia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline