Lihat ke Halaman Asli

Lukisan Di Ruang Publik Keseharian

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Konon yang membedakan sesuatu-benda dapat disebut seni atau kerajinan adalah perihal ruang, selain produktivitas yang massif, non-fungsional, kontinuitas, dan tidak dapat diakses/dimengerti oleh banyak orang. Adalah ruang di mana sesuatu-benda tersebut diletakkan atau dipajang. Bukan semata pada “kualitas” sesuatu-benda itu sendiri. Sekali lagi masalah ruang.

Bila sesuatu-benda itu masuk atau hendak di-kategori-kan seni, maka sesuatu-benda tersebut diletakkan di ruang-ruang khusus seni. Misalnya galeri atau rumah seni. Sebagaimana sebuah pandangan (entah apakah ini dapat masuk sebagai teori) pernah dituturkan, bahwa ruang mempengaruhi persepsi seseorang tentang sesuatu yang ada di dalamnya. Misalnya ketika kita masuk sebuah galeri, sadar atau tidak persepsi kita sudah masuk dalam kerangka kerja ruang psikologis keruangan itu. Membatasi persepsi kita, meskipun dapat untuk menolaknya. Sehingga apa pun yang akan kita lihat, seolah diyakinkan bahwa semua sesuatu-benda tersebut merupakan sesuatu-benda yang mempunyai nilai seni. Meskipun itu sepeda, cangkul, jamban, atau coretan tidak jelas di atas kanvas, dan sesuatu-benda-benda yang lainnya.
Galeri atau rumah seni bukanlah ruang-ruang keseharian yang profan. Galeri dan rumah seni adalah ruang-ruang sakral yang terjadi pada saat tertentu saja.

Ruang-ruang tersebut membatasi: selain persepsi kita juga terhadap tingkat aksesibilitas. Tidak semua masyarakat dapat mengaksesnya. Hanya masyarakat golongan tertentu saja yang bisa dan biasa mengkasesnya. Bukan masyarakat secara luas. Karena ruang, meskipun itu ruang publik, punya “sensor” atau stereotipikal tertentu. Punya eksklusivitasnya sendiri. Ada nilai atau tata aturan yang jadi pagar. Misalnya petani yang tidak biasa ke pameran-pameran di galeri merasa tidak pantas masuk ke tempat tersebut. Karena dirinya merasa bukan bagian dari “komunitas yang tahu seni”.

Pada saat itu, maka seni hanya diperuntukkan oleh golongan tertentu saja.

Bagaimana bila suatu pameran dilakukan bukan di galeri atau tempat-tempat seni lain ? yang jelas itu bukan sebuah dosa bagi perkembangan seni rupa. Bagaimana pun lukisan memiliki arti-pesan yang hendak dikomunikasikan oleh pelukisnya kepada komunikan, publik-penonton. Pesan itu tidak terletak pada isi dari lukisan, tapi lukisannya itu sendiri. Membiarkan masyarakat dengan keliaran persepsi, sekaligus membebaskan lukisan dari belenggu eksklusivitas.

Entah dimaksudkan sebagai budaya tanding terhadap mainstream galeri atau rumah-rumah seni yang berlaku selama ini atau ada maksud lainnya, pameran lukisan di ruang-ruang publik keseharian menjadi hal menarik. Lukisan yang mendekatkan diri pada publik, bukan publik yang mendekatkan diri pada seni sebagaimana selama ini terjadi. Yang paling kentara adalah memberikan kesempatan masyarakat secara luas untuk dapat mengaksesnya. Karena di sanalah masyarakat dapat berlalu-lalang tanpa beban dalam kesehariannya. Itulah ruang-ruang aktivitas keseharian mereka. Bila hari ini pameran dilakukan di pasar, mungkin suatu waktu yang lain akan ada pameran di lapangan, gang-gang, jalan raya, dan ruang-ruang publik keseharian lainnya yang tingkat aksesibilitasnya tidak terbatas. Semoga.

Apakah lukisan-lukisan tersebut akan menjadi sesuatu-benda seni atau kerajinan? Mari mengiring waktu. Publik dan sejarah yang akan menilainya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline