Banyak orang yang menjadikan agama sebagai sekat pembatas, bahkan dalam hal berhubungan antar sesama manusia. Naifnya, sekat itu bahkan ada diantara pemeluk agama yang sama, hanya karena perbedaan sudut pandang.
Pertanyaannya, apakah memang harus seperti itu? Saya bukan pakar hubungan sosial atau ahli agama, ini sekelumit pengalaman hidup saya yang cukup berkesan.
Antara tahun 2010-2013, saya tinggal disebuah tempat yang sangat indah dibelahan selatan negara bagian Queensland Australia. Nama kotanya Toowoomba, diadopsi dari bahasa lokal setempat. Julukannya adalah the 'Garden City' karena kota ini memiliki ratusan taman di seantoro wilayahnya.
Setiap tahun warganya yang ramah merayakan festival flower yang mungkin merupakan festival bunga terbesar di Australia. Tapi disini saya tidak akan bercerita tentang bunga dan keindahan kota Toowoomba, tetapi kisah tentang seorang nenek yang belakangan saya anggap sebagai ibu.
Pada suatu waktu diawal musim semi tahun 2011, datang seorang nenek didepan pintu rumah kami dengan mengabit Bibel. Saya perkirakan usianya sekitar 80-an tahun. Meskipun usianya sudah cukup senior, beliau terlihat masih gesit dan sangat ceria.
Setelah menyampaikan salam, dia minta ijin untuk memberikan kabar baik. Saya persilakan masuk dan kami kebetulan sedang santai. Beliau memperkenalkan diri bahwa dulu dia datang dari Italia bersama keluarganya, suami dan dua orang anak. Suaminya sudah tiada dan dua anaknya tinggal di Sydney dan London.
Dia mulai membaca, kami mendengarkan. Setelah selesai, kami bertukar cerita tentang hal-hal ringan. Dia antusias sekali ketika saya ceritakan bahwa dulu saya pernah tinggal di Inggris.
Dia bercerita tentang anaknya yang sudah sukses menjadi jurnalis di London dan sesekali dia mengunjungi Inggris untuk melihat cucu-cucunya. Melihat anak-anak saya yang masih lucu, dan ikut mendengarkan ceritanya, mungkin dia teringat sama cucunya.
Setelah itu, sekali sebulan beliau mampir bersilaturahim. Sampai suatu saat beliau bertanya, apa kalian sudah punya agama. Saya jawab: "Yes we are moslem". Beliau mengangguk dan kami melanjutkan diskusi tentang banyak hal.
Diskusi dan obrolan selanjutnya tetap hangat dan beliau sepertinya senang sekali ada yang mendengarkan ceritanya. Kadang bercerita tentang suaminya, tentang kampung halamannya di Genoa, tentang masa perang dunia kedua dan masa-masa awal kedatanganya di Australia bersama keluarga. Kami juga bercerita tentang Indonesia dan Lombok, tetapi lebih banyak beliau yang kami dengarkan.
Akhir tahun 2012 istri dan anak-anak saya pulang lebih dahulu ke Indonesia. Beliau tetap datang meski tidak sesering saat keluarga saya masih ada, dan seperti biasanya berbagi cerita tentang banyak hal.