Pada tahun 1943, pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia melalui Sendenbu (propaganda Jepang) memberi janji kepada para perawan remaja untuk melanjutkan sekolah di Tokyo dan Shonanto. Melalui kepanjangan tangannya yaitu pangreh praja (pemimpin lokal), tentara Jepang mulai mengangkut para gadis perawan remaja dengan cara menjemput kerumahnya masing-masing lalu kemudian dibawa ke kapal.
Rentar umur gadis yang diangkut ialah antara 15-19 tahun. Waktu awal naik kapal mereka tampak gembira. Ada yang menyanyikan lagu-lagu Jepang, lagu-lagu sekolahan, atau mars militer yang bersemangat. Selama di kapal mereka tertawa-tawa merasa senang sebagai pelajar terpilih yang dapat sekolah ke Jepang. Mereka memiliki niat mulia agar dapat menjadi pemimpin bangsa setelah pulang dari Jepang, tampaknya mimpi itu hancur setelah 1,5 mil kapal berangkat dari pelabuhan.
Para perwira Jepang langsung melakukan serbuan terhadap pada perawan itu, memperkosa dan menghancurkan cita-cita mereka. Para wanita ini kemudian berlarian di geladak kapal dan ada yang mencoba menceburkan dirinya ke laut namun gagal karena ditahan tentara Jepang.
Perempuan yang diangkut ini ditujukan untuk melayani kebutuhan seks tentara Jepang. Seorang wanita bernama Sumiyati menceritakan pengalaman pahitnya sebagaimana berikut "50 gadis dari Jawa yang diangkut, didatangi oleh sejumlah besar serdadu Jepang dan menggilir mereka gelombang demi gelombang. Setiap gadis mendapat satu bilik. Serdadu Jepang yang berhajad seks datang ke kamar yang ditentukan pada karcis berisikan nomor bilik. Mereka yang belum dapat giliran harus menunggu sampai yang di dalam keluar". Sumiyati menceritakan pengalamannya sambil bercucuran air mata.
Seorang wanita lain bernama Kartini juga menceritakan pengalaman yang serupa "Empat orang Jepang menguasai diri saya, di malam hari mereka meniduri saya. Saya tahu banyak teman saya yang mengalami nasib sama". Kartini sering pingsan dan jatuh sakit karena perbuatan biadab tentara Jepang ini.
Setelah Jepang kalah pada tahun 1945, para wanita ini ditelantarkan oleh Jepang. Wanita yang ditelantarkan ini menyebar di Myanmar, Flores, Pulau Buru. Pramoedya Ananta Toer mengisahkan pengalamannya saat ia menjadi tahanan politik di pulau Buru tahun 1969, ia bertemu dengan perempuan yang pernah menjadi Jugun Ianfu, banyak dari mereka yang sudah menua, mereka ingin kembali ke kampung asalnya namun tidak bisa karena kendala biaya.
"Kalau sampean nanti pulang, tolong ajak saya, bawa saya ini. Saya akan sangat berterima kasih kalau sampean bisa bawa saya keluar dari daerah ini. Saya sudah cukup lama disiksa oleh keadaan, sementara saya tidak tahu jalan keluar" ucap mereka pada Pram dan ia hanya bisa tersenyum sedih. Singkatnya perempuan yang menjadi Jugun Ianfu ditelantarkan oleh tentara Jepang, tidak mendapatkan perlindungan dari Pemerintah Republik Indonesia, akibatnya mereka tidak dapat kembali ke kampung halamannya dan terlantar selama puluhan tahun, banyak yang terpaksa harus menikah dengan orang dari suku pedalaman demi bertahan hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H