Peristiwa Malari adalah salah satu peristiwa menakutkan yang pernah terjadi di masa Orde Baru. Malari merupakan kependekan dari Peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974. Mahasiswa berduyun-duyun turun ke jalan dan melakukan demonstrasi yang berujung pada kerusuhan massal. Para mahasiswa melakukan protes keras terhadap modal asing yang ditanam di Indonesia, kala itu Menteri Jepang Tanaka Kakuei sedang berkunjung ke Indonesia untuk membahas investasi Jepang di Indonesia, momentum itu dimanfaatkan mahasiswa untuk melakukan demonstrasi besar-besaran. Alhasil, kerusuhan terjadi dan korban pun berjatuhan; 11 orang tewas, 137 orang luka-luka, dan 750 orang ditangkap.
Sebelum peristiwa Malari terjadi, sebetulnya sudah ada keretakan di antara tokoh-tokoh militer terutama antara Jenderal Soemitro di satu pihak dan Presiden Soeharto, Ali Moertopo, Soedjono Hoemardani di pihak lain. Ketika itu, Soemitro adalah Deputi Panglima Angkatan Bersenjata dan Panglima Kopkamtib, dapat dikatakan Soemitro adalah orang terkuat nomor dua saat itu setelah Soeharto.
Pada bulan September 1973, Soemitro melakukan tindakan yang membuatnya dicurigai kesetiannya kepada Soeharto. Pada bulan itu, Soemitro mengunjungi kampus-kampus dan meminta mahasiswa agar kritis terhadap pemerintah. Soemitro juga menarik pengawal dari kediaman Ali Moertopo dan Soedjono sehingga mereka mudah diserang oleh demonstran mahasiswa yang menganggap kedua asisten pribadi Soeharto adalah antek kepentingan Jepang di Indonesia.
Melihat gelagat seperti ini, Soeharto mengadakan pertemuan pada 31 Desember. Para Jenderal pun berkumpul ; Panglima Kopkamtib Soemitro, Deputi Panglima Kopkamtib Soedomo, Kepala Staf Angkatan Darat Soerono, Sekretaris Negara Sudharmono, Asisten Intelijen Kharis Suhud bersama Ali Moertopo dan Soediono.
Soeharto membuka pertemuan itu dengan meminta Pak Ali untuk mengajukan pertanyaan. Pak Ali mengajukan pertanyaan: mengapa pengawalan di rumah ditarik? Mengapa telponnya disadap intelijen? Mengapa ia menganjurkan mahasiswa mengkritik pemerintahan Soeharto? Sebelum menjawab pertanyaan itu, Soemitro menangis. Pertemuan pun dihentikan selama setengah jam. Setelah itu, Soemitro menyatakan tidak ada niat merongrong wewenang Soeharto. Soeharto kemudian menutup pertemuan dengan mengatakan bahwa siapa pun yang punya ambisi untuk menggantikannya harus melaksanaknnya secara konstitusional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H