Perkembangan historiografi Islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari perkembangan historiografi Indonesia. Awal penulisan sejarah Islam di Indonesia dapat ditemukan melalui penelusuran historiografi tradisional dengan melihat hikayat dan sejarah Melayu yang berisikan mitos mengenai silsilah raja yang bersambung pada nabi, tokoh wayang purwa. Namun, sumber-sumber ini hanya menerangkan raja ataupun elit istana yang mulai berpindah keyakinan memeluk Islam tetapi sama sekali tidak memberikan informasi rinci mengenai proses konversi rakyat kebanyakan dalam memeluk Islam.
Di masa penjajahan Bangsa Barat hingga periode kolonial akhir, penulisan sejarah banyak dilakukan oleh orang Eropa, sejarah Nusantara dilihat melalui sudut pandang mereka atau disebut Eropa Sentris. Sejarah Indonesia hanya dianggap sebagai kelanjutan dari sejarah kolonial Eropa, pandangan Eropasentris menempatkan masyarakat Nusantara di posisi rendah dan menggambarkan penduduk Nusantara sebagai masyarakat primitif yang perlu diberadabkan oleh orang-orang kulit putih, konsep yang disebut white men's burden.
Karya yang menjadi puncak penulisan sejarah di masa kolonial adalah karya Stapel berjudul Geschiedenis van Naderlandsch Indie. Terlihat dalam buku itu bahwa Belanda merupakan bangsa yang unggul sedangkan pribumi sebaliknya, rendah, bodoh, tersisihkan, bangsa yang tidak dapat mengatur persoalannya sendiri.
Penulisan sejarah Islam khususnya mengenai kedatangan dan proses Islamisasi di Nusantara, pada masa ini, banyak dilakukan oleh sejarawan Barat seperti Crawfurd dengan teori Arabnya, Schrieke teori perang salib atau rivalitas Islam-Kristennya, Snouck dengan teori Gujaratnya, Van Leur yang melihat masuknya Islam didorong oleh alasan politik dan juga adanya doktrin Islam yang mewajibkan setiap individu untuk menyebarkan agamanya sehingga tiap muslim merupakan seorang penyebar ajaran Islam.
Di masa setelah kemerdekaan, penulisan sejarah muncul dengan tujuan untuk melihat sejarah dengan sudut pandang orang Indonesia sendiri atau Indonesiasentris. Narasi Indonesia sentris sangat kental dalam sejarah Indonesia, hingga Muhammad Yamin menekankan bahwasanya siapa saja yang berada di pihak Belanda saat perjuangan kemerdekaan tidak perlu untuk menulis sejarah Indonesia. Historiografi Islam Indonesia di masa ini berangkat dari keinginan untuk mengoreksi secara menyeluruh kekeliruan buku-buku yang ada sebelumnya, khususnya yang ditulis oleh para orientalis, salah satu tokoh yang muncul pada masa ini ialah Buya Hamka. Hamka mengkritik orientalis yang membuat teori bahwa Islam Nusantara bermuara di India dan bukan di Mekkah, sebuah upaya yang menurut Hamka mencoba untuk memutuskan hubungan rohani antara Nusantara dengan Arab sebagai Asal Islam Nusantara.
Di masa selanjutnya, historiografi Indonesia kemudian berkembang. Sejarawan yang hidup di masa ini menyadari perlu kerangka berpikir baru dalam melihat sejarah, pendekatan global pada sejarah mulai digunakan. Selain pendekatan global, para sejarawan mulai menggunakan pendekatan ilmu politik, ekonomi, sosiologi, antropologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya sebagai alat bantu untuk membaca peristiwa sejarah. Contoh historiografi Indonesia yang menggunakan pendekatan global atau multidimensi adalah karya Anthony Reid berjudul Asia Tenggara dalam kurun waktu niaga 1450-1680, dan Dennys Lombard Nusa Silang Budaya Jawa. Pembahasan lebih lanjut akan dibahas berikutnya.
1. Historiografi Tradisional
Indonesia memiliki tradisi penulisan sejarah di masa klasik seperti babad, tambo, hikayat, silsilah, lontar dan lain-lain, penulisan sejarah masa ini disebut sebagai "historiografi tradisional". Historiografi tradisional masih mengandung unsur mitologi dan imajinasi, namun tetap dapat digunakan untuk memahami perkembangan masyarakat zamannya. Dalam konteks keislaman, terdapat dua hal yang terkandung dalam historiografi tradisional, pertama menjelaskan bagaimana Islam diperkenalkan kepada masyarakat Nusantara. Kedua, proses konversi kepercayaan agama penduduk nusantara yang dimulai dengan pelafalan dua kalimat syahadat dikalangan para penguasa. Namun, historiografi tradisional tidak dapat menjelaskan mengenai proses konversi penduduk Nusantara pada umumnya hingga Islam muncul sebagai sebuah agama yang mapan di Nusantara.
2. Historiografi Kolonial
Di masa kolonial, penulisan sejarah banyak dilakukan oleh para sejarawan Barat. Seperti diungkap sebelumnya, di masa kolonial bangsa kulit putih memandang bahwa mereka memiliki misi untuk memberadabkan bangsa jajahan yang dianggap masih primitif, dalam kasus ini Nusantara. Seperti diungkap oleh Henk Schuldt dalam jurnal De-colonising Indonesian Historiography :
"The culmination of Dutch colonial Historiography was Stapel's Geschiedenis van Nederlandsch-Indie (5 vols, 1938-1940). The first two volumes told the story of the old Java based Hindu and Muslim kingdoms kingdoms, but this perspective chaged abruptly when the Dutch arrived. From volume 3 onwards they became the main actors while the indigenous peoples were marginalized. The Dutch remained the main actor, representing enlightment, progress and and the ability to protect the interest of the 'natives' who were represented as being incapable of running their own affairs."