Oleh: Mikael Jati Kurniawan
Sabtu-Minggu, 9-10 Januari 2016, kami guru-guru muda diberi kesempatan oleh sekolah untuk secara khusus dapat kembali menyelami spirit Ignasian. Kesempatan rekoleksi yang berlangsung di Bandungan ini, tentu disambut baik oleh kami, terutama saya. Selain karena ingin lebih mendalami niai-nilai Ignasian, kesempatan tersebut juga ingin saya gunakan untuk bersosialisasi dengan teman-teman guru baru. Sebagai angkatan muda, memang perlu diwadahi aktivitas semacam ini sehingga sejak awal, kami mengerti bagaimana spirit Ignasian ini merasuk dalam urat nadi pendidikan sekolah Jesuit, bagaimana aplikasi praktis nilai-nilai Ignasian dalam kehidupan sehari-hari, dan bagaimana meniti langkah untuk terus mengembangkan sekolah Kolese, terutama Kolese Loyola.
Rekoleksi ini dilakukan dengan cara lectio devina. Buku pedoman yang digunakan dalam rekoleksi ini adalah Lahir untuk Berjuang. Buku ini berisi tentang intisari perjalanan hidup Loyola. Setelah melalui proses pembacaan, refleksi pribadi, dan sharing kelompok kecil. Saya melihat adalah nilai yang khas yang diperjuangkan Loyola. Meski terlihat simpel dan sepele, atau mungkin situasi dan kondisi saat itu demikian, saya melihat adanya semangat totalitas Loyola yang membabi buta untuk menemukan kebenaran dan menyebarkan ajaran iman Kristus. Hampir seluruh kisah hidupnya setelah bertobat, ia melukan peziarahan dengan berjalan kaki. Berjalan kaki dari kota ke kota yang jaraknya sangat jauh dan bahkan bisa ditempuh bertahun-tahun. Dari sini saya melihat tekad yang kuat untuk ber-AMDG.
Berkiblat pada kisah tersebut, saya berefleksi pada diri saya sendiri. Posisi aman Ignasius Loyola sebagai prajurit, Ia lepaskan demi sesuatu yag lebih mulia. Segala kenyamanan dan kemewahan diri sebagai seorang panglima perang Ia lepaskan. Berbeda dengan kisah hidupku, sampai saat ini pun terkadang pencarian saya, nilai-nilai yang saya perjuangkan barulah pada tataran kenyamanan dan kemewahan diri. Setelah berefleksi lebih dalam lagi, sesuai dengan pegalaman Ignasius Loyola, boleh dikatakan bahwa saya belum mengalami turning point untuk melepaskan diri dengan kelekatan duniawi. Militansi yang saya lakukanpun seakan menjadi semu, apa yang saya perjuangkan pun menjadi tidak fokus. Masih sama dengan ketika Ignasius Loyola menjadi prajurit perang. Inti dari semua ini bahwa saya kurang berpasrah dan bersyukur dalam menanggapi cinta dan kasih Tuhan.
Rekoleksi ini berbuah tidak banyak namun mendalam bagi saya. Saya bertekad untuk berubah dan konsisten untuk menjaga api perjuangan Ignasius Loyola. Sebagai guru muda, penerus perjuangan Kolese Loyola, bersama dengan rekan-rekan guru yang lain, mau menjadi motor untuk terus berkarya dalam mendidik siswa-siswi. Berjuang bersama untuk tidak berpangku pada kenyamanan dan kemewahan duniawi. Semoga melalui ini, saya mampu untuk menjadi trigger bagi diri sendiri dan orang lain untuk lebih miitan. FORZA LOYOLA!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H