Semenjak Raja Balitung naik tahta, situasi politik di Mataram Kuno semakin tak menentu. Balitung bisa menjadi penguasa tahta Mataram Kuno karena faktor perkawinan. Dia menikahi putri Rake Watuhumalang. Dengan demikian dia bukanlah keturunan langsung dari raja sebelumnya.
Hal ini memunculkan rasa tidak puas di kalangan kerabat istana. Salah satu yang tak puas itu adalah Daksa atau Rakryan Mahamantri I Hino Sri Daksottama Bahubraja Pratipaksaksaya yang menjadi orang kedua di pemerintahan setelah raja. Daksa ini tak lain adalah ipar raja Balitung sendiri.
Dalam prasasti Taji Gunung yang dikeluarkan oleh Daksa sebagai Sang Rakryan Mahamantri I Hino pada tahun 910 M tentang peresmian desa Taji Gunung menjadi sima, Daksa memperkenalkan adanya kalender tahun Sanjaya di dalam penulisan prasastinya. Disebutkannya bahwa prasasti Taji Gunung itu diterbitkan pada tahun 194 Sanjayawarsa. (Tahun Sanjaya dimulai dari 716 M)
Dengan memperkenalkan tahun Sanjaya ini seolah-olah Daksa ingin menunjukkan kepada khalayak bahwa sebenarnya dirinya-lah yang lebih berhak atas tahta Mataram Kuno, karena dirinya adalah keturunan dari Sanjaya dan juga raja sebelum Balitung berkuasa.
Antara tahun 910 M - 911 M, Daksa bersekongkol dengan Rake Gurunwangi melakukan kudeta dan berhasil menggulinkan raja Balitung. Dalam prasasti Timbangan Wungkal 912 M, Daksa telah menjadi raja dan bergelar Sri Maharaja Daksottama Bahubraja Pratipaksaksaya Sri Sanggawijaya.
Raja Daksa ini berkuasa kurang lebih selama 8 tahun, dan mengangkat Rake Layang Dyah Tlodhong sebagai putra mahkota. Dyah Tlodhong ini juga bukan keturunan raja Daksa dan bukan pula pejabat eselon pertama di kraton Mataram Kuno. Ada dugaan jika Dyah Tlodhong ini adalah menantu Raja Daksa.
Dalam prasasti Lintakan yang berangka tahun 12 Juli 919 M, Raja yang berkuasa di Mataram Kuno sudah berganti ke Dyah Tlodhong atau Tulodong. Dalam pemerintahannya yang menjabat sebagai Rakryan Mapatih I Hino adalah Mpu Ketuwijaya, dan yang menjabat sebagai Rakryan Mapatih I Halu adalah Mpu Sindok.
Prasasti Harinjing C yang berangka tahun 7 Maret 927 M menyebutkan jika ada pembaharuan Desa Culanggi sebagai sima yang dilakukan oleh Rakryan Mapatih I Hino Mpu Ketuwijaya atas saran Sang Pamgat Momahumah (semacam pegawai pengadilan) Rake Sumba Dyah Wawa.
Ada dugaan bahwa telah terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Rake Sumba Dyah Wawa yang bersekongkol dengan Mpu Sindok untuk menggulingkan Dyah Tlodhong dan sekaligus menyingkirkan Rakryan Mapatih I Hino Mpu Ketuwijaya.
Hal ini didasarkan atas prasasti Sangguran yang bertarikh 2 Agustus 928 M, yang menyebutkan nama raja yang baru di Mataram Kuno yang bernama Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sriwijayalokanamottungga dan yang menjabat sebagai Rakryan Mapatih I Hino adalah Pu Sindok Sri Isana Wikrama.
Namun setahun kemudian gelar Mpu Sindok ini sudah berganti menjadi Sri Maharaja Rake Hino Dyah Sindok Sri Isanawikramadharmatunggadewa, sebagaimana yang tertulis di prasasti Turyyan yang diterbitkan pada tanggal 24 Juli 929 M. Prasasti ini menyebutkan bahwa Mpu Sindok membangun pusat pemerintahannya di Tamwlang, "sri maharaja makadatwan I tamwlang", yang sekarang diidentifikasikan sebagai desa Tembelang di daerah Jombang Jawa Timur.